Jumat, 04 Mei 2012

PENDIDIKAN KARAKTER SEBAGAI UPAYA PENCEGAHAN DINI PERILAKU KORUPSI


PENDIDIKAN KARAKTER SEBAGAI UPAYA
PENCEGAHAN DINI PERILAKU KORUPSI
Arman B

I.        Pendahuluan
Dewasa ini masyarakat Indonesia seakan dimanjakan oleh mass media baik cetak maupun elektronik dengan suguhan berita tentang kasus-kasus korupsi. Hal ini mengindikasikan bahwa perilaku korupsi seakan telah menjadi fenomena social ditengah masyarakat. Perilaku ini telah merasuki semua sendi kehidupan mulai dari yang terkecil seperti lingkup sekolah sampai kepada lingkup terbesar dalam pengelolaan keuangan Negara.
Korupsi merupakan kejahatan yang luar biasa karena terjadi di semua bidang kehidupan dan dilakukan secara sistematis, sehingga sulit untuk memberantasnya. Korupsi di Indonesia dapat dikatakan sudah merupakan  endemic, sistemic, dan  widespread. Korupsi bahkan sudah merampas hak-hak ekonomi, sosial dan budaya (ekosob) masyarakat banyak sehingga harus diberantas.[1]
Dengan semakin marak dan mengakarnya perilaku korupsi sampai tingkat terbawah dan besarnya dampak negative yang diakibatkannya, rasanya tidak mungkin untuk memberantas perilaku jahat ini hanya dengan mengharapkan lembaga hukum negara sebagai leading sector pemberantasan korupsi bagi pemerintah. Pendidikan karakter dapat dijadikan solusi dalam pencegahan dini perilaku tersebut. Lalu, apa yang menyebabkan maraknya perilaku korupsi. pendidikan karakter seperti apakah yang dapat dijadikan solusi pencegahan dini dari perilaku korupsi. Makalah ini mencoba memberikan gagasan-gagasan tentang penyebab perilaku korupsi dan jenis pendidikan karakter yang dapat dikembangkan bagi anak dalam usaha untuk menangkal sejak dini perilaku korupsi.    

II.     Perilaku Korupsi: Faktor penyebab dan solusi
A.    Faktor penyebab korupsi
Menurut WJS Poerwadarminta,[2] bahwa   arti harfiah dari korupsi adalah “perbuatan yang buruk, seperti penggelapan uang, penerimaan uang sogok, dan sebagainya”. Sedangkan Kartono (1983), memberi batasan korupsi sebagai tingkah laku individu yang menggunakan wewenang dan jabatan guna mengeruk keuntungan pribadi, merugikan kepentingan umum, serta merupakan gejala salah pakai dan salah urus dari kekuasaan, demi keuntungan pribadi, salah urus terhadap sumber-sumber kekayaan negara dengan menggunakan wewenang dan  kekuatan-kekuatan formal (misalnya dengan alasan hukum dan kekuatan senjata) untuk memperkaya diri sendiri.
Dari definisi  tersebut dapat disimpulkan bahwa perbuatan korupsi adalah usaha buruk yang dilakukan seseorang yang mencakup berbagai aspek dan semua sendi kehidupan yang dilakukan semata-mata untuk kepentingan pribadi dan golongan dengan merugikan kepentingan umum yang mana hal tersebut dilakukan karena kewenangan dan kekuasaan yang dimilikinya.
Kasus-kasus korupsi yang sering diberitakan di mass media baik cetak maupun elektronik belakangan ini pada umumnya dilakukan oleh orang-orang yang berlatar pendidikan tinggi, hal ini menunjukkan bahwa disamping latar belakang ekonomi, praktek korupsi tersebut terjadi bukan karena kurangnya pengetahuan mereka akan korupsi tersebut tetapi lebih diakibatkan oleh lemahnya mental dan moral yang melahirkan niat buruk untuk memperkaya diri sendiri dan golongan tanpa memikirkan kerugian yang akan ditimbulkan bagi masyarakat umum yang justru lebih membutuhkan barang, uang dan sejenisnya yang mereka korupsi itu. Miliaran rupiah yang dikorupsi oleh segelintir oknum yang tidak bertanggung jawab tentunya akan sangat berarti apabila digunakan pada tempatnya dan diperuntukkan bagi rakyat kecil yang membutuhkan.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa sebenarnya mereka yang melakukan praktek korupsi atau yang dikenal dengan istilah koruptor adalah justru orang-orang yang unggul secara akademik namun lemah dalam segi nilai-nilai akhlak. Pengetahuan dan prestasi akademik yang diraih ternyata tidak sejalan dengan sikap dan keterampilan yang dimiliki sehingga cenderung melupakan nilai-nilai ketuhanan. Krisis akhlak yang melanda para koruptor menjadi tugas besar bagi dunia pendidikan untuk menyiapkan generasi muda bangsanya.

III.    Metode Pendidikan Karakter
A.      Kegagalan dunia pendidikan dalam pembentukan karakter
Menurut Masnur Muslich,[3] dunia pendidikan telah melakukan kesalahan karena telah melupakan tujuan utama pendidikan yaitu mengembangkan pengetahuan, sikap, dan keterampilan secara simultan dan seimbang. Dunia pendidikan kita telah memberikan porsi yang sangat besar untuk pengetahuan, tetapi melupakan pengembangan sikap, nilai dan perilaku dalam pembelajarannya. Dunia pendidikan kita sangat menyepelehkan dan meremehkan mata-mata pelajaran yang berkaitan dengan pembentukan karakter bangsa.
Munculnya gagasan pendidikan karakter di Indonesia, bisa dimaklumi karena proses pendidikan yang selama ini berkembang dan dianut oleh para pemangku kebijakan dalam dunia pendidikan masih dirasakan belum berhasil membangun manusia Indonesia yang berkarakter yang memiliki daya filter dalam dirinya dalam menangkal dan mencegah perilaku-perilaku kecurangan yang dapat merugikan orang lain seperti korupsi. Salah satu indicatornya adalah banyaknya lulusan sekolah atau sarjana yang hanya cerdas dalam menjawab soal-soal ujian dan ulangan yang diberikan tetapi lemah mental dan moral karena belum dapat mempraktekkan pengetahuan-pengetahuan yang didapatkannya dalam kehidupan sehari-harinya. Bahkan banyak pakar bidang moral dan agama yang seharusnya memiliki karakter yang dapat diteladani tetapi perilakunya tidak sejalan dengan ilmu yang diajarkannya.
            Pendidikan karakter bangsa harus mampu membentuk generasi muda Indonesia yang mampu meneguhkan persatuan dan kesatuan untuk melawan penjajahan dan nafsu imperialism dibidang politik, kebudayaan, ekonomi, praktik kemunafikan Negara-negara maju yang terbungkus dalam apa yang disebut globalisasi.[4]
Sejak kecil, kita lebih sering diajarkan bagaimana menghafal nilai-nilai kebaikan dan bagaimana bagusnya sikap jujur,  kerja keras, rajin, hidup sederhana, saling menyayangi dan bagaimana jahatnya perilaku bohong, curang, sombong, dan boros. Tapi nilai-nilai kebaikan itu hanya sebatas pengetahuan yang diajarkan dan diujikan diatas kertas dan dihafal sebagai bahan yang wajib dipelajari. Nilai-nilai itu baru menjadi sebatas pengetahuan dan belum menjadi pembiasaan.
Menurut Muslich, [5] Pendidikan karakter adalah pendidikan budi pekerti plus, yaitu yang melibatkan aspek teori pengetahuan (cognitive), perasaan (feeling), dan tindakan (action).
Pendidikan karakter belum dapat dikatakan berhasil manakala ketiga aspek mendasar dalam pendidikan karakter itu tidak berjalan beriringan dan pengetahuan tentang karakter-karakter baik yang diajarkan dalam bangku-bangku sekolah itu belum diterjemahkan dalam perilaku dan tindakan keseharian  ditengah masyarakat yang pada gilirannya akan menjadi kebiasaan-kebiasaan yang mengakar yang melahirkan budaya malu apabila bertindak dengan karakter-karakter buruk.
B.     Pembentukan karakter baik melalui proses pembiasaan.
Pendidikan karakter bukanlah sebuah proses menghafal materi soal-soal ujian dan tekhnik menjawabnya. Pendidikan karakater memerlukan pembiasaan. Pembiasaan unutk berbuat baik, pembiasaan untuk berlaku jujur, ksatria, malu berbuat curang, malu bersikap malas. Karakter sesungguhnya tidak terbentuk secara instan, tetapi harus dilatih secara serius dan proporsional agar mencapai bentuk dan kekuatan yang ideal.[6]
Penanaman nilai-nilai akhlak melalui pendidikan karakter sejak usia dini merupakan solusi tepat untuk menyiapkan generasi bangsa yang bermoral yang bisa membentengi dirinya dari godaan perilaku korupsi yang menguntungkan diri sendiri tanpa merugikan orang lain . Hal ini dikarenakan sebab sejak dini ia sudah dibiasakan untuk memegang teguh prinsip-prinsip hidup mulia sehingga perilaku-perilaku tersebut kelak akan terbawa hingga ia dewasa. Dalam kaidah ushul fiqh dijelaskan bahwa Al-‘a>dah Muhakkamah, bahwa kebiasaan-kebiasaan itu akan menjadi hukum, begitupula dengan anak-anak yang sejak dini telah diberikan pendidikan karakter dengan nilai-nilai akhlak yang luhur maka hal tersebut akan terbawa hingga dewasa ia sehingga akan memegang teguh prinsip-prinsip mulia itu.
Sifat-sifat buruk yang timbul dalam diri anak sebenarnya bukanlah merupakan bawaan dari lahir sebagai fitrah, karena fitrah setiap anak itu ialah kesucian sebagaimana termaktub dalam al-hadith:
       كُلُّ مَوْلُوْدٍ يُوْلَدُ عَليَ اْلفِطْرَةِ
Kullu mawlu>d yu>lad ‘ala> al-fitrah.
“Setiap anak lahir dalam keadaan suci”

Bimbingan intensif dari orang tua dan para pendidik terhadap anak sejak usia dini menjadi sangat penting agar anak memiliki karakter yang baik. Hal ini disebabkan karena pada hakekatnya keluarga adalah tempat paling pertama dan utama dalam pendidikan karakter dan kepribadian seorang anak.
“The child thus, regulates his conduct according to a moral code which he derives from the personality of his mother. Everything she believes to be good, beautiful and true are regarded as ideal. This is the beginning of the expression and satisfaction of his moral urge”.[7]
Pembentukan karakter seorang anak pada hakekatnya dapat dilihat dari bagaimana cara orang tua terutama ibu dalam mendidik dan memberikan keteladanan kepada anak-anaknya. Hasil bimbingan itu akan terlihat langsung saat anak secara berangsur-angsur berkembang dan tampil ditengah kehidupan masyrakat. Dengan demikian perilaku buruk yang timbul dalam diri anak dapat diakibatkan karena kurangnya peringatan dini dari orang tua dan para pendidik. Semakin dewasa usia anak maka akan semakin sulit bagi dirinya unutk merubah perilaku buruknya. Banyak orang dewasa yang menyadari perilaku buruk tetapi sangat sulit untuk merubahnya karena sudah sedemikan mengakarnya perilaku buruk tersebut dalam dirinya. Maka berbahagialah para orang tua yang selalu memperingati dan dan mencegah anaknya dari perilaku buruk seperti berlaku curang yang merupakan cikal bakal perilaku korupsi sejak dini karena dengan demikian mereka sesungguhnya telah menyiapkan dasar mental dan moral yang kuat bagi anak dimasa mendatang. Dengan demikian anak tersebut telah diberikan pendidikan sejak dini yang menjadi solusi dalam pencegahan perilaku korupsi.

IV.  Kesimpulan
Perilaku korupsi pada hakekatnya disebabkan oleh lemahnya mental dan moral serta nilai-nilai kebaikan yang dimiliki oleh para koruptor. Kelemahan mental, moral, dan nilai-nilai kebaikan ini disebabkan karena proses pendidikan yang hanya menitikberatkan pada aspek pengetahuan tanpa memberikan porsi yang cukup bagi pendidikan karakter yakni pengembangan aspek sikap, nilai, dan perilaku.
Pencegahan korupsi adalah perkara yang tidak mudah diselesaikan karena ia merupakan sikap yang terbentuk dari kebiasaan perilaku buruk sejak kecil. Solusi tepat bagi pencegahan korupsi ini hanya bisa dilakukan dengan mempersiapkan generasi mendatang yang berkarakter kuat yang memiliki prinsip-prinsip mulia yaitu dengan menanamkan kebiasaan dan nilai-nilai kebaikan sejak dini. Hal ini dapat dilakukan dengan pendidikan karakter yang dapat dimulai dari kalangan keluarga sampai kepada pendidik sehingga kelak akan menjadi kebiasaan yang tertanam bagi anak dalam kehidupan bermasyarakat.




[2] Dikutip dalam Andrias Cahyono, “Cegah korupsi sejak dini,”  http://www.okezone.com/cegah-korupsi-sejak-dini.htm, (diakses, 18 April 2012)
[3] Masnur Muslich, Pendidikan Karakter: Menjawab Tantangan Krisis Multidimensional (Jakarta, Bumi Aksara, 2011), 17.
[4] Marwan Saridjo, Pendidikan Islam dari masa ke masa (Bogor, Al-Manar Press, 2011), 290.
[5] Muslich, Pendidikan Karakter, 29.
[6] Adian Husaini, Membentuk manusia berkarakter dan beradab (Bandung, Makalah disampaikan pada seminar pendidikan karakter, 28 juli 2010), 10.
[7] KMI Gontor Ponorogo, English Lesson For Class Six: Mother and Moral Education (Gontor: Darussalam Press, 1992), 5.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar