Selasa, 26 Juni 2012

Karakteristik Guru Multikulturalis


MENJADI GURU YANG MULTIKULTURALIS:
KARAKTERISTIK DAN KOMPETENSI
Oleh : Arman  B

I.        Pendahuluan
Telah menjadi sebuah realitas sosial bahwa heterogenitas dengan segala diversitas sosial, ekonomi, gender, kultur dan sebagainya adalah fenomena yang tak terbantahkan dalam kehidupan masyarakat. Bahkan, ia telah hadir seiring dengan kelahiran ummat manusia. Oleh karena itu, pemahaman multikulturalisme lewat jalur pendidikan menjadi urgen adanya dalam usaha mereduksi kemungkinan terjadinya gesekan-gesekan akibat perbedaan tersebut yang dapat menimbulkan konflik horizontal yang lebih luas. Dalam hal ini, figur guru sebagai insan pendidik memiliki peran yang sangat vital.
Sebagai pendidik, guru semestinya memahami perbedaan kultur yang terdapat dalam peserta didik untuk kemudian menjadikannya sebagai landasan berfikir dan bertindak dalam memberikan perlakuan yang tidak diskriminatif kepada mereka. Tentu, hal ini bukanlah tugas yang sederhana. Untuk itu, seorang guru dituntut memiliki beragam spesialisasi yang dapat menjadikannya sebagai pendidik yang professional dan multikulturalis. Namun, realitas yang ada menunjukkan bahwa belum semua guru memahami posisinya sebagai pendidik dengan segala kompleksitas tugas dan tanggung jawabnya.
Sebagian guru masih “memaknai” tugas mendidik hanya sebagai transformasi ilmu pengetahuan dari seorang guru ke peserta didik tanpa penanaman nilai-nilai luhur yang menghargai diversitas sosial, ekonomi, gender, kultur dan sebagainya. Bahkan, tanpa disadari guru sering memberikan perlakuan yang tidak adil dengan mengabaikan perbedaan-perbedaan yang cenderung merampas hak-hak asasi dengan memaksakan “keseragaman” dalam ”keragaman” diversitas mereka. Hal ini, mungkin disebabkan oleh karakter dan kompetensi yang dimiliki belum sesuai dengan nilai-nilai luhur dari multikulturalisme. Pertanyaannya kemudian adalah, bagaimana menjadi guru yang multikulturalis?. Makalah ini akan mengungkap gagasan-gagasan tentang karakteristik dan kompetensi yang harus dimiliki oleh seorang guru untuk menjadi guru yang multikulturalis.

II.     Guru Yang Multikulturalis
Bangsa Indonesia adalah salah satu negara pluralis terbesar didunia. Kebenaran pernyataan ini dapat dipahami mengingat bangsa ini terdiri dari ratusan etnis, kepercayaan, budaya, dan adat istiadat yang tersebar disekitar 13.000 pulau besar dan kecil serta berbicara dalam ratusan bahasa daerah.[1] Pluralisme multidimensional ini telah membentuk mozaik ke-Indonesia-an yang sangat indah dan mempesona tetapi sekaligus sangat rawan terhadap konflik. Keindahan dan pesona itu bisa tercipta ketika seluruh elemen masyarakat dapat hidup dalam harmonisasi keragaman perbedaan yang saling menghargai satu sama lain. Namun, ketidakmampuan mengelola pluralisme yang mengakibatkan terjadinya kecendrungan eksklusifisme, fanatisme sempit, dan radikalisasi pemahaman dapat menyulut terjadinya percikan gejolak sosial yang bernuansa SARA.[2]
Salah satu solusi yang dapat ditempuh dari pluralisme multidemensional semacam ini adalah dengan menanamkan pemahaman kepada peserta didik terhadap eksistensi heterogenitas dengan segala diversitas sosial, ekonomi, gender, kultur, agama, kemampuan, umur, dan lain sebagainya dalam kehidupan bermasyarakat.  Urgensi menanamkan pemahaman ini berakar dari usaha untuk  mencegah ancaman perampasan hak-hak asasi setiap manusia sebagai makhluk berbudaya yang berhak mendapatkan perlakuan secara manusiawi dan sederajat tanpa melihat latar belakang kehidupannya. Hal tersebut dapat dilakukan dengan pendidikan multikultural melalui penerapan kurikulum pendidikan yang berbasis pada pemanfaatan keragaman yang ada dalam masyarakat, khususnya pada siswa.
Pendidikan harus berwawasan masa depan yang memberikan jaminan bagi perwujudan hak-hak asasi menusia untuk mengembangkan seluruh potensi dan prestasinya secara optimal.[3] Penddikan yang baik harus menghadapkan para murid terhadap konsepsi-konsepsi yang berbeda, system keyakinan, dan bentuk konseptualisasi pengalaman-pengalaman umum, dan mengajak peserta didik untuk masuk kedalam semangat budaya lain, melihat dunia dengan cara yang dilakukan orang lain dan menghargai segala kekuatan dan keterbatasannya.[4] Tanpa minat kepada budaya lain juga berarti tertutup kemungkinan bagi perwujudan “tata multikultural” dalam kehidupan bermasyarakat. Akibatnya, “budaya kaum” ataupun “budaya suku” yang tertutup dalam kelokalan dan berorientasi ke masa silam, akan mengekang laju kemajuan masyarakat menuju masyarakat informasi, “knowledge based society”, yang mengakibatkan budaya masyarakat tidak akan menemukan dinamikanya sebagai “learning culture” dalam menyesuaikan dengan kemajuan peradaban manusia.[5] Untuk itu, peserta didik sejak dini perlu diberikan pemahaman tentang multikulturalisme sebagai upaya untuk meningkatkan kesadaran mereka agar dapat menghargai keragaman diversitas yang ada sehingga pada akhirnya dapat berprilaku secara humanis, pluralis, dan demokratis.
Hal terpenting yang harus diperhatikan dalam pendidikan multikultural adalah ketersediaan guru professional yang mengerti keragaman diversitas peserta didiknya dan memahami cara untuk memanfaatkan keragaman yang terdapat pada diri mereka dengan menanamkan nilai-nilai pendidikan yang multikultural. Sebelum membahas lebih jauh tentang kompetensi dan karakter guru yang multikulturalis, terlebih dahulu penulis akan memaparkan tentang konsep guru dan multikultural.
Secara sederhana, guru adalah orang yang berprofesi mengajar.[6] Lebih lanjut, menurut Fathurrahman dan Sutikno,[7] guru adalah tenaga pendidik yang memberikan sejumlah ilmu pengetahuan dan bertugas menanamkan nilai-nilai dan sikap kepada anak didik agar memiliki kepribadian yang paripurna. Sedangkan multikulturalisme berarti keragaman budaya.[8] Menurut Suparlan dalam Suwito,[9] Multikulturalisme adalah sebuah ideologi yang menekankan kesederajatan dalam perbedaan-perbedaan kebudayaan.
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa guru yang multikulturalis adalah seorang tenaga pendidik yang dapat membimbing dan mengembangkan potensi peserta didik dengan menekankan pada kesederajatan dalam keragaman diversitas kebudayaan dan latar belakang pada diri mereka, lingkungan masyarakat, atau bahkan dunia secara keseluruhan. Untuk itu, seorang guru tidak hanya dituntut untuk menguasai dan mampu secara profesional mengajarkan mata pelajaran atau mata kuliah yang diajarkannya. Lebih dari itu, seorang pendidik (baca, guru) juga harus mampu menanamkan nilai-nilai inti dari pendidikan multikultural seperti demokrasi, pluralisme dan humanisme.
Guru yang multikulturalis dituntut harus mampu merealisasikan tujuan akhir dari pendidikan multikultural yaitu menjadikan peserta didik tidak hanya mampu memahami dan menguasai mata pelajaran yang dipelajarinya, tetapi juga diharapkan mempunyai karakter yang kuat untuk selalu bersikap demokratis, pluralis dan humanis.[10] Lebih lanjut, guru harus mampu memanfaatkan sekaligus mengimplementasikan strategi pendidikan yang menegakkan dan menghargai nilai-nilai pluralisme, demokrasi dan humanisme yang menjunjung tinggi moralitas, kedisiplinan, kepedulian humanistik, keadilan, dan kejujuran berprilaku sehari-hari. Pada akhirnya, diharapkan dimasa mendatang guru yang multikulturalis ini akan menghasilkan “generasi multikultural” yang memahami dan memiliki karakter kuat yang dapat menghargai perbedaan yang ada ditengah kehidupan masyarakat.

III.  Karakteristik dan Kompetensi Guru Multikulturalis
Guru adalah pendidik yang menjadi tokoh, panutan, dan identifikasi bagi para peserta didik, dan lingkungannya. Oleh karena itu, guru harus memiliki standar kualitas  tertentu.[11] Mengingat latar belakang dan budaya peserta didik yang beragam, maka mendidik merupakan sebuah profesi yang harus dipersiapkan terlebih dahulu dengan persiapan khusus.[12] Untuk mewujudkan tangung jawab ini, khususnya bagi guru dengan keragaman diversitas peserta didik, ada beberapa karakter dan kompetensi yang harus dimiliki untuk menjadi guru yang multikulturalis. 
A.     Karakteristik
Membahas masalah pendidikan tidak akan sempurna tanpa memasukkan pembahasan guru kedalamnya, karena guru merupakan salah satu elemen terpenting dalam pengembangan pendidikan. Kurikulum yang baik hanya akan menjadi konsep sia-sia tanpa penjabaran realistis atau hanya akan menjadi rencana kosong tanpa aksi nyata tanpa keberadaan guru yang berkarakter. Menurut Getteng, [13] guru secara umum seharusnya memiliki karakter kepribadian yang mantap, stabil, dewasa, arif dan bijaksana, berwibawa, berakhlak mulia, menjadi teladan bagi peserta didik dan masyarakat, objektif mengevaluasi kinerja sendiri, dan mengembangkan diri secara mandiri dan berkelanjutan.
Banyak atribut yang disandangkan kepada guru berkaitan dengan tugas mendidik yang diembannya, seperti pendidik, pengajar, pembimbing, pelatih, penasehat, pemandu, pembaharu (inovator), teladan atau model, peneliti, pendorong kreativitas, pembangkit pandangan, pekerja rutin, pembongkar kemah, pembawa cerita dan aktor, emansipator, evaluator, pengawet dan lain sebagainya. Namun, penulis sepakat dengan konsep yang dipaparkan oleh Suyono dan Hariyanto,[14] bahwa karakteristik yang harus dimiliki guru yang multikulturalis adalah sebagai berikut.
Pertama, moral steward atau pemandu moral, yang mengenali nilai-nilai dan kapabilitas serta hak-hak para peserta didik. Hal ini menjadi penting mengingat akar dari pendidikan multicultural adalah hak asasi manusia. Untuk itu, seorang guru harus mampu menjaga terciptanya nilai-nilai HAM dalam proses pembelajaran.
Kedua, constructor atau pembangun, yang memahami berbagai pokok bahasan dan paham berbagai cara mengajarkannya untuk mengakomodasikan berbagai gaya belajar siswa. Karakter ini adalah menuntut guru untuk membangkitkan pandangan tentang kebesaran kepada peserta didik jika ia sendiri tidak memiliki kebesaran itu. Guru harus membangun kesadaran peserta didik bahwa dengan potensi yang dimilikinya ia dapat melebihi gurunya.
Ketiga, philoshoper atau ahli filsafat yang merefleksi secara kritis tentang apa yang tercapai dan belum tercapai selama pembelajaran. Dengan begitu, ia dapat menemukan solusi baru dalam pembelajaran yang lebih efektif dan optimal.
Keempat, fasilitator yang menciptakan kondisi aman, sehingga para siswa berani untuk mengambil resiko dan membuat kesalahan atau kegagalan dalam pembelajaran dan memberi waktu kepada mereka untuk mencobanya kembali. Guru harus memfasilitasi peserta didiknya untuk melakukan berbagai percobaan dalam menemukan hal-hal baru tanpa merasa takut gagal dengan menekankan pada proses yang terjadi, bukan hasil.
Kelima, the inquirer atau pencari tahu sejati, yang selalu mengevaluasi hasil belajar peserta didik untuk mencari tahu tentang berbagai hal yang telah dipelajari dan apa yang ingin dipelajarinya lebih lanjut.
Keenam, bridger atau menjadi jembatan, yang bermitra dengan orang tua, guru lain, dan komunitas lain para pemangku kepentingan sekolah untuk menjamin bahwa ruang kelas tanggap terhadap kebutuhan dan harapan masyarakat, dan gurulah yang dituntut dapat menjembatani hal tersebut.
Ketujuh, the change maker atau pembuat perubahan, yang secara aktif mencari solusi dan mengejar perubahan dalam kelas, sekolah, wilayah, asosiasi guru, sosial dan politik yang berkaitan dengan masa depan pendidikan.
B.      Kompetensi
Secara sederhana kompetensi berarti kewenangan atau kekuasaan untuk memutuskan sesuatu hal.[15] Kompetensi berasal dari bahasa inggris yaitu, competence yang berarti being competent; ability atau kemampuan, kecakapan.[16] Suatu jenis pekerjaan tertentu dapat dilakukan seseorang jika ia memiliki kemampuan. Istilah ini sebenarnya memiliki banyak makna, seperti yang dikemukakan oleh Broke dan Stone dalam Uzer Usman,[17] descriptive of qualitative nature or teacher behavior appears to be entirely meaningful, kompetensi merupakan gambaran hakikat kualitatif dari perilaku guru yang tampak sangat berarti. Adapun kompetensi guru (teacher competency), the ability of a teacher to responsibibly perform his or her duties appropriately, kompetensi guru merupakan kemampuan seorang guru dalam melaksanakan kewajiban-kewajibannya secara bertanggung jawab dan layak. Perbedaan pokok antara profesi ini dan profesi lainnya adalah terletak pada tugas dan tanggung jawabnya yang berkaitan erat dengan kemampuan yang disyaratkan untuk memangku profesi tersebut. Kemampuan dasar tersebut adalah kompetensi guru.[18]
Dari gambaran pengertian ini, dapat disimpulkan bahwa kompetensi guru multikulturalis adalah kemampuan dan kewenangan guru dalam melaksanakan profesi keguruannya dengan menekankan pada kesederajatan dalam keragaman diversitas kebudayaan dan latar belakang  peserta didik, lingkungan masyarakat, atau bahkan dunia secara keseluruhan. Menurut Sinagatullin,[19] seorang guru yang multikulturalis setidaknya harus memiliki tiga komponen kompetensi yang meliputi, sikap (attitude), ilmu pengetahuan (knowledge), dan keterampilan (skills).
Pertama, kompetensi sikap atau attitude. Kompetensi ini adalah bagian dari keahlian yang mendasar dan sangat penting yang harus dimiliki guru yang multikulturalis. Perwujudan dari sikap guru ini tercermin pada perasaan, cara berfikir, menempatkan diri dalam pembelajaran dan berinteraksi kepada peserta didik yang memiliki keragaman perbedaan. Sikap ini dapat menggambarkan tingkat kualitas pemahaman dan kesiapan seorang guru dalam melaksanakan proses pembelajaran yang produktif dan multikulturalis. Berkaitan dengan hal ini, seorang guru harus memiliki beberapa sikap sebagaimana berikut:
a.       Bersikap positif terhadap perbedaan. Seorang guru dituntut untuk memahami bahwa perbedaan pada manusia dapat terjadi dimanapun dan kapanpun. Bahkan, eksistensi perbedaan ini telah muncul sejak kelahiran umat manusia.
b.      Selalu berusaha untuk memahami dan mengikuti serta mengaktualisasikan perubahan cara pandang terhadap pendidikan.
c.       Berusaha secara terus-menerus memperkaya dan memperdalam pemahaman tentang mutikulturalisme dan kehidupan global dengan mengikuti program-program peningkatan kemampuan guru, belajar tentang pengalaman-pengalaman dari guru-guru lain, atau berusaha belajar mengkaji secara mandiri.
Kedua, kompetensi yang berbasis pengetahuan atau knowledge. Guru yang berorientasi pada pendidikan multikultural dengan keragaman perbedaan pada peserta didik memiliki kesulitan yang lebih besar jika dibandingkan dengan guru yang hanya berorientasi pada standar kurikulum yang ada. Argumenatsi kebenaran pernyataan ini adalah karena disamping tuntutan untuk menguasai masalah-masalah pendidikan dan pengetahuan yang luas, mereka juga dituntut untuk menguasai pengetahuan tentang pelaksanaan proses pembelajaran pada situasi keragaman perbedaan yang menuntut perlakuan secara humanis, demokratis dan pluralis sehingga dapat menyediakan kesempatan yang seimbang (kesederajatan) tanpa melihat perbedaan-perbedaan yang ada. Untuk mewujudkan hal ini, guru yang multikulturalis diharapkan memiliki dan memahami pengetahuan-pengetahuan sebagaimana berikut.
a.       Etnisitas, wawasan kebangsaan, dan nilai-nilai global yang berlaku. Guru harus memahami ragam etnis dengan segala kebudayaan dan kebiasaan-kebiasaannya, kebudayaan bangsa-bangsa, dan nilai-nilai luhur yang berlaku secara universal.
b.      Isu-isu seputar fenomena perbedaan-perbedaan yang ada. Seorang guru harus mengetahui bahwa perbedaan pada manusia yang meliputi perbedaan sosial, etnis, agama, bahasa, umur dan sebagainya adalah proses alami dalam sejarah kehidupan manusia yang akan terus berlangsung dan mengalami perubahan-perubahan.
c.       Gaya belajar peserta didik. Seorang guru diharapkan dapat memahami pilihan-pilihan akademik peserta didik yang mugkin disebabkan oleh berbagai faktor seperti: sosial, budaya, agama, latar belakang geografis, orang tua, psikologi, biofisika dan lingkungan.
d.      Tradisi-tradisi yang berkembang dalam masyarakat yang dapat mempengaruhi gaya belajar peserta didik, seperti cerita rakyat, lagu daerah, pepatah, peribahasa, permainan, dan anekdot.

Gagasan yang senada juga tercermin dari pandangan, bahwa guru harus menguasai dan memahami semua hal yang berkaitan dengan kehidupan nasional dan global misalnya tentang suku bangsa, adat istiadat, kebiasaan, norma-norma, kebutuhan, kondisi lingkungan, dan sebagainya. [20] Urgensi kompetensi pengetahuan ini bagi guru yang multikulturalis menjadi penting mengingat seorang guru juga dituntut harus kompeten dalam menghargai suku bangsa lain, agama yang dianut orang lain, sifat dan kebiasaan suku lain yang mesti dicontohkannya pada peserta didik dalam pergaulan sehari-hari. Hal ini sejalan dengan karakter yang harus dimilikinya sebagai moral steward atau pemandu moral.
Ketiga, kompetensi keterampilan pedagogis. Keterampilan pedagogik merujuk pada kemampuan guru untuk mengelola proses belajar mengajar, termasuk didalamnya perencanaan dan pelaksanaan, evaluasi hasil belajar mengajar dan pengembangan siswa sebagai individu-individu.[21] Guru yang multikulturalis harus dapat memanfaatkan keragaman diversitas yang dimiliki peserta didik untuk mengembangkan potensinya. Disamping itu, guru harus terampil dan mampu mengembangkan sikap positif peserta didik untuk memahami hal-hal seperti;            
a.       Kearifan dan budaya-budaya lokal serta nilai-nilai global.
b.      Mengajarkan mereka untuk bersikap toleran terhadap budaya-budaya orang lain dan cara hidup mereka.
c.       Mengembangkan sikap postif terhadap perkembangan dan perubahan keragaman diversitas yang ada.
d.      Menunjukkan sikap kasih sayang terhadap orang lain yang mengalami kondisi kesehatan dan kehidupan yang berbeda.
e.       Mengembangkan sikap kepedulian terhadap lawan jenis.

Lebih daripada itu, seorang guru yang multikulturalis juga harus terampil dalam mengelola kelas yang multikultur, mengorganisasi pembelajaran, ikut bertanggung jawab dalam memberikan gagasan-gagasan dalam memajukan ilmu pengetahuan, terutama yang berkaitan dengan spesialisasinya, bersosialisasi dengan peserta didik yang memiliki keragaman perbedaan, dan selalu berusaha untuk mempelajari tentang etnografi.[22]
James A. Banks dan Cherry A. McGee Banks dalam Multicultural Education,[23] menjelaskan bahwa kompetensi keterampilan pedagogis yang harus dimiliki oleh guru multikulturalis meliputi:
(1) creating a nurturing classroom that honors and incorporates the cultural and linguistic heritages of all student members, (2) making connections with students as individuals and understanding how context influences their interactions with others, (3) providing structured communal learning opportunities that enhance and expand the more traditional individualistic and teacher-directed approaches characteristic of mainstream schools, (4) developing learning skills through dynamic teaching utilizing explicit, intensive, and systematic instructional techniques, (5) utilizing peer-mediated and peer mentoring activities, (6) monitoring at-risk students frequently while maintaining high expectations and affirming learning for all students, and (7) providing English language and bilingual support services as needed by children for whom English is a second language or one of several languages that may be spoken by immigrant families.

Pendapat ini menjelaskan, bahwa seorang guru harus mampu; (1) memelihara terciptanya kondisi kelas yang selalu menghargai warisan kebudayaan dan bahasa setiap peserta didik, (2) melakukan hubungan interaksi dengan setiap peserta didik selaku individu dan memahami dampak hubungan interaksi yang mereka lakukan terhadap orang lain, (3) memberikan kesempatan untuk melakukan kegiatan pembelajaran secara bersama-sama yang dapat mengeliminir tradisi pendekatan individualistis dan pembelajaran yang berpusat pada guru yang merupakan karakteristik aliran kebanyakan sekolah yang harus dirubah, (4) mengembangkan keterampilan belajar dengan melakukan pembelajaran dinamis yang tegas, intensif, dengan tekhnik intruksional yang sistematis, (5) melakukan pembelajaran dengan pemanfaatan media pembelajaran dan aktivitas saling menasehati, (6) melakukan pengawasan terhadap peserta didik yang sering menimbulkan resiko sambil memanfaatkan kemauan belajar mereka yang tinggi dan mempertegas pembelajaran pada semua peserta didik, dan (7) menyiapkan bahasa Inggris sebagai bahasa internasional dan dukungan layanan dua bahasa bagi peserta didik yang menjadikan bahasa Inggris sebagai bahasa kedua atau salah satu dari beberapa bahasa yang kemungkinan digunakan oleh keluarga imigran.
Merebaknya tuntutan dan gagasan tentang pendidikan multikultural harus diakui berkaitan erat dengan semakin berkembangnya kesadaran masyarakat luas akan eksistensi keragaman diversitas yang rawan akan konflik. Tanpa guru dengan kompetensi multikulturalis, maka sulit diwujudkan tatanan pranata sosial (sekolah) yang dapat mewujudkan nilai-nilai multikularisme tersebut.

IV.  Kesimpulan
Guru yang multikulturalis adalah seorang tenaga pendidik yang dapat membimbing dan mengembangkan potensi peserta didik dengan menekankan pada kesederajatan dalam keragaman diversitas budaya dan latar belakang pada diri mereka, lingkungan masyarakat, atau bahkan dunia secara keseluruhan. Untuk itu, guru dituntut harus mampu merealisasikan tujuan akhir dari pendidikan multikultural yaitu menjadikan peserta didik mempunyai karakter yang kuat untuk selalu bersikap demokratis, pluralis dan humanis.
karakteristik yang harus dimiliki guru yang multikulturalis adalah moral steward atau pemandu moral, constructor atau pembangun, philoshoper atau ahli filsafat, fasilitator yang menciptakan kondisi aman, the inquirer atau pencari tahu sejati, bridger atau menjadi jembatan, dan the change maker atau pembuat perubahan. Sedangkan kompetensi yang harus dimiliki oleh guru yang multikulturalis meliputi tiga komponen mendasar yaiitu, sikap (attitude), ilmu pengetahuan (knowledge), dan keterampilan (skills).

DAFTAR PUSTAKA
Banks, James A. and Cherry A. McGee Banks. Eds. Multicultural Education: Issues and Perspectives. 7th ed. Seattle and Bothel: Jhon Wiley & Sons Inc., 2010.
Departemen Kebudayaan dan Pariwisata. Pendidikan Multikultural dan Revitalisasi Hukum Adat dalam Perspektif Sejarah. Jakarta: Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata Deputi Bidang Sejarah dan Purbakala, 2005.
Fathurrohman, Pupuh dan M. Sobry Sutikno. Strategi Belajar Mengajar: Melalui Penanaman Konsep Umum & Konsep Islami. Bandung: Refika Aditama, 2010.
Getteng, Abd. Rahman. Menuju Guru Profesional dan Ber-Etika. Cet. 3. Yogyakarta: Grha Guru, 2011.
Hamalik, Oemar. Pendidikan Guru Berdasarkan Pendekatan Kompetensi. Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2003.
Hornby, AS, AP Cowie, and AC Gimson. Oxford Advanced Learner’s Dictionary Of Current English. Oxford: Oxford University Press, 1987.
Khalifah, Mahmud dan Usamah Quthub. Menjadi Guru Yang Dirindu. Surakarta: Ziyad Visi Media, 2009.
Mulyasa, E. Menjadi Guru Profesional: Menciptakan Pembelajaran Kreatif dan Menyenangkan. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2005.
Parekh, Bhikhu. Rethinking Multiculturalism: Keberagaman Budaya dan Teori Politik. Terjemahan C.B. Bambang Kukuh Adi. Cet. V. Yogyakarta: Kanisius 2012.
Sinagatullin, Ilghiz M. Constructing Multicultural Education In a Diverse Society. Lanham, Maryland, and London: A Scareerow Education Book, 2003.
Sumiati dan Asra. Metode Pembelajaran. Bandung: Wacana Prima, 2009.
Suwito,. Sejarah Sosial Pendidikan Islam. Jakarta: Kencana, 2005.
Suyono, dan Hariyanto. Belajar dan Pembelajaran: Teori dan Konsep Dasar. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2011.
Tim Pengembang Ilmu Pendidikan FIP-UPI. Ilmu dan Aplikasi Pendidikan: Pendidikan Lintas Bidang. Bagian IV. Bandung: PT. Imtima, 2009.
Tim Redaksi Bahasa Indonesia. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Pusat Bahasa, 2008.
Uno, Hamzah B. Model Pembelajaran: Menciptakan Proses Belajar Mengajar yang Kreatif dan Efektif. Cet. 2. Jakarta: Bumi Aksara, 2008.
Usman, Moh. Uzer. Menjadi Guru Profesional. Edisi II. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2002.
Yakin, M. Ainul. Pendidikan Multikultural: Cross-Cultural Understanding untuk Demokrasi dan Keadilan. Yogyakarta: Pilar Media, 2005.
Zuriah, Nurul. Pendidikan Moral dan Budi Pekerti dalam Perspektif Perubahan: Menggagas Platform Pendidikan Budi Pekerti Secara Kontekstual dan Futuristik. Jakarta: Bumi Aksara, 2011.



[1] Tim Pengembang Ilmu Pendidikan FIP-UPI, Ilmu dan Aplikasi Pendidikan: Pendidikan Lintas Bidang, (Bandung: PT. Imtima, 2009), 43.
[2] SARA adalah singkatan dari suku, agama, ras, dan antar golongan.
[3] Nurul Zuriah, Pendidikan Moral dan Budi Pekerti dalam Perspektif Perubahan: Menggagas Platform Pendidikan Budi Pekerti Secara Kontekstual dan Futuristik (Jakarta: Bumi Aksara, 2011), 109.
[4] Bhikhu Parekh, Rethinking Multiculturalism: Keberagaman Budaya dan Teori Politik (Yogyakarta: Kanisius 2012), 302.
[5] Departemen Kebudayaan dan Pariwisata, Pendidikan Multikultural dan Revitalisasi Hukum Adat dalam Perspektif Sejarah (Jakarta: Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata Deputi Bidang Sejarah dan Purbakala, 2005), 104.
[6] Tim Redaksi Bahasa Indonesia, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Pusat Bahasa, 2008), 497.
[7] Pupuh Fathurrohman, dan M. Sobry Sutikno, Strategi Belajar Mengajar: Melalui Penanaman Konsep Umum & Konsep Islami (Bandung: Refika Aditama, 2010), 43.
[8] Tim Redaksi Bahasa Indonesia, Kamus Besar, 980.
[9] Suwito, Sejarah Sosial Pendidikan Islam (Jakarta: Kencana, 2005), 25.
[10] M. Ainul Yakin, Pendidikan Multikultural: Cross-Cultural Understanding untuk Demokrasi dan Keadilan (Yogyakarta: Pilar Media, 2005), 5.
[11] E. Mulyasa, Menjadi Guru Profesional: Menciptakan Pembelajaran Kreatif dan Menyenangkan (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2005), 37.
[12] Mahmud Khalifah dan Usamah Quthub, Menjadi Guru Yang Dirindu (Surakarta: Ziyad Visi Media, 2009), 13.
[13] Abd. Rahman Getteng, Menuju Guru Profesional dan Ber-Etika (Yogyakarta: Grha Guru, 2011), 33.
[14] Suyono dan Hariyanto, Belajar dan Pembelajaran: Teori dan Konsep Dasar (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2011), 206.
[15] Tim Redaksi Bahasa Indonesia, Kamus Besar, 743.
[16] AS Hornby, AP Cowie, and AC Gimson, Oxford Advanced Learner’s Dictionary Of Current English (Oxford: Oxford University Press, 1987), 172.
[17] Moh. Uzer Usman, Menjadi Guru Profesional (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2002),
[18] Hamzah B. Uno, Model Pembelajaran: Menciptakan Proses Belajar Mengajar yang Kreatif dan Efektif (Jakarta: Bumi Aksara, 2008), 79.
[19] Ilghiz M. Sinagatullin, Constructing Multicultural Education In a Diverse Society (Lanham, Maryland, and London: A Scareerow Education Book, 2003), 185.
[20] Oemar Hamalik, Pendidikan Guru Berdasarkan Pendekatan Kompetensi (Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2003), 41.
[21] Sumiati dan Asra, Metode Pembelajaran (Bandung: Wacana Prima, 2009), 242.
[22] Etnografi adalah uraian ilmiah mengenai ras-ras manusia, lihat Kamus Besar, 743.
[23] James A. Banks and Cherry A. McGee Banks. Eds. Multicultural Education: Issues and Perspectives (Seattle and Bothel: Jhon Wiley & Sons Inc., 2010), 353.