Kamis, 24 Mei 2012

KEWAJIBAN BELAJAR MENGAJAR

Oleh : Arman B
I.        Pendahuluan
Kemajuan peradaban manusia dewasa ini tak bisa dilepaskan dari kemajuan ilmu pengetahuan yang menjadi warisan terbesar dari proses pendidikan yang terjadi. Proses pendidikan itu dapat dikatakan berlangsung dalam semua lingkungan pengalaman hidup manusia mulai dari lingkup terkecil seperti keluarga, sekolah sampai kepada masyarakat luas. Hal ini berlangsung dalam semua tahapan perkembangan seseorang sepanjang hayatnya yang dikenal dengan istilah longlife education.
Dalam Islam pendidikan tidak dilaksanakan hanya dalam batasan waktu tertentu saja, melainkan dilakukan sepanjang usia (min al-mahd ila> al-lahd). Islam juga memotivasi pemeluknya untuk selalu membaca, menelaah dan meneliti segala sesuatu yang menjadi fenomena dan gejala yang terjadi di jagad alam raya ini dalam rangka meningkatkan kualitas keilmuan dan pengetahuan yang pada akhirnya akan meningkatkan kualitas hidup dan kehidupannya. Dalam pandangan Islam tua atau muda, pria atau wanita, miskin atau kaya mendapatkan porsi yang sama dalam menuntut ilmu (pendidikan). Bukan hanya pengetahuan yang terkait urusan ukhrowi saja yang ditekankan oleh Islam, melainkan pengetahuan yang terkait dengan urusan duniawi juga. Karena manusia dapat mencapai kebahagiaan hari kelak dengan melalui jalan kehidupan dunia ini.
Berbicara tentang pendidikan tidak bisa dilepaskan dari pembahasan tentang  kegiatan belajar mengajar yang merupakan bagian tak terpisahkan dari dunia pendidikan itu sendiri. Belajar mengajar memiliki peran yang sangat penting karena tanpa itu proses transformasi dan aktualisasi pengetahuan moderen sulit untuk diwujudkan. Makalah ini mencoba memaparkan berbagai hal tentang pendidikan dan kewajiban belajar mengajar serta ilmu pengetahuan dalam pandangan al-Quran.
II.     Dasar-dasar Pendidikan dalam Al-qur’an
Al-Qur’an menjelaskan dalam banyak ayat akan pentingnya pendidikan. Pemahaman terhadap ayat-ayat al-Qur’an dalam hubungannya dengan pengembangan ilmu pengetahuan  amat erat kaitannya dengan kegiatan pendidikan. Hal ini menjadi sangat berasalan karena tanpa ilmu pengetahuan yang merupakan pengejewantahan dari pendidikan niscaya kehidupan manusia akan menjadi sengsara. Tidak hanya itu, al-qur’an bahkan memposisikan manusia yang memiliki ilmu pengetahuan pada derajat yang tinggi. Sebagaimana firman Allah SWT:

Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat”. (QS. Al-Muja>dilah:11)[1]

Menurut Mushtafa Al-Maraghi,[2] ayat ini mengandung pengertian bahwa orang-orang mukmin yang akan ditinggikan derjatnya oleh Allah SWT adalah mereka yang mengikuti perintah-perintah Allah dan Rasul-Nya dan khususnya mereka yang memperoleh ilmu pengetahuan. Adapun derajat yang dimaksud disini adalah kedudukan yang khusus baik dari segi pahala yang banyak maupun tingkatan-tingkatan keridhaan dari Allah SWT.
Keutamaan yang diberikan kepada orang yang berilmu menjadi sangat beralasan mengingat cara kerja, amalan, dan ibadah orang yang berilmu tentulah memiliki nilai dan kualitas yang lebih baik dibanding mereka yang bekerja, beramal dan beribadah tidak dengan ilmu. Ayat ini juga bisa dipahami sebagai salah satu dalil tentang urgensi pendidikan bagi seorang muslim dalam menjalani kehidupannya didunia ini.
Tidaklah keliru jika dinyatakan bahwa al-qur’an adalah kitab pendidikan. Hal ini disebabkan bahwa hampir semua unsur yang berkenaan dengan ayat-ayat kependidikan disinggung secara tersurat atau tersirat oleh al-qur’an. Rasulullah SAW yang menerima wahyu dan bertugas menyampaikan dan mengajarkan ajaran-ajaran yang terkandung didalamnya menamai dirinya sebagai “guru”. Aku diutus sebagai sebagai seorang pendidik (Bu’ithtu mu’alliman), demikian sabdanya.[3]   
Menurut Fathurrahman dan Sutikno,[4] bahwa tauhid merupakan hal yang paling mendasar dan fundamental terhadap segala aspek kehidupan para penganut agama islam, tak terkecuali pada aspek pendidikan. Hal ini sejalan dengan tujuan pendidikan yaitu sebagai sarana untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT.
Oleh sebab itu, seorang penuntut ilmu diharapkan dapat berperan menjadi khalifah Allah dimuka bumi ini, yang tidak hanya memanfaatkan persediaan alam yang melimpah, tetapi juga menjadi manusia yang pandai bersyukur kepada yang membuat manusia dan alam, memperlakukan manusia lainnya sebagai khalifah dan memperlakukan alam tidak hanya sebagai objek penderita semata, tetapi juga sebagai komponen integral dari sistem kehidupan dibumi ini sesuai dengan konsep tauhid dan tujuan penciptaannya dimuka bumi ini.
Sehubungan dengan fungsi manusia sebagai khalifah di muka bumi ini, Al-Qur’an menjelaskan hal tersebut dalam surat Hud (11): 61:
Dan kepada Tsamud (kami utus) saudara mereka, Saleh. Dia berkata, Wahai kaumku! Sembahlah Allah, tidak ada Tuhan bagimu selain Dia. Dia telah menciptakanmu dari bumi (tanah) dan menjadikanmu pemakmurnya, karena itu mohonlah ampunan kepada-Nya, kemudian bertobatlah kepada-Nya. Sesungguhnya Tuhanku sangat dekat (rahmat-Nya) dan memperkenankan (do’a hamba-Nya).[5]

Menurut Umar Shihab,[6] tafsiran kontekstualitas dari ayat ini memberikan pengertian bahwa manusia yang dijadikan khalifah dibumi ini bertugas untuk memakmurkan atau membangun bumi sesuai dengan konsep yang ditetap oleh al-Qur’an, yakni untuk bertakwa kepada Allah. Sedangkan kekhalifahan itu mengharuskan adanya empat sisi yang saling berkaitan, yaitu: (1) pemberi tugas, dalam hal ini Allah SWT; (2) penerima tugas dalam hal ini manusia secara perorangan atau kelompok; (3) tempat atau lingkungan dimana itu berada; (4) materi-materi penugasan yang harus mereka laksanakan.
Tugas ini tidak akan dinilai berhasil apabila materi penugasan tidak dilaksanakan, dan kaitan antara penerima tugas dan lingkungannya tidak diperhatikan. Oleh karena itu, penjabaran dari tugas kekhalifahan harus sejalan dan diangkat dari dalam masyarakat itu sendiri.
Menurut Quraish Shihab, seperti yang dikutip Fathurrahman dan Sutikno,[7] tauhid yang merupakan dasar dari pendidikan islami dapat dirumuskan sebagaimana berikut:
Pertama, kesatuan kehidupan. Ini berarti bahwa kehidupan keduniaan seorang manusia mesti menyatu dengan kehidupan ukhrowinya. Sukses atau gagalnya ia dalam kehidupan akhirat sangat ditentukan oleh amalan-amalan yang dikerjakannya selama mengarungi kehidupannya didunia.
Kedua, kesatuan ilmu. Tidak ada pemisahan antara ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu umum karena semuanya bersumber dari satu sumber yaitu Allah SWT.
Ketiga, kesatuan iman dan rasio. Karena masing-masing dibutuhkan dan masing-masing mempunyai wilayahnya sehingga harus saling melengkapi.
Keempat, kesatuan agama. Agama yang dibawa oleh para Nabi kesemuanya bersumber dari Allah SWT, prinsip-prinsip pokoknya menyangkut akidah, syariah dan akhlak tetap sama dari zaman dahulu sampai sekarang.
Kelima, kesatuan individu dan masyarakat. Masing-masing harus saling menunjang.
Pendidikan dalam pandangan islam sangat berbeda dengan pandangan baik di dunia barat maupun timur. Perbedaan mendasar antara keduanya terletak pada sikap atau pandangan tentang hidup itu sendiri, dimana islam menganggap bahwa hidup bukanlah akhir dari segalanya tetapi merupakan alasan untuk  mencapai tujuan-tujuan spiritual lain setelah hidup. Dengan demikian kegiatan belajar mengajar pun mesti diarahkan mencapai tujuan spiritual lain setelah kehidupan sipebelajar.
Menurut Umar Shihab,[8]  bahwa dasar pemikiran yang menggambarkan harapan atau tujuan dari setiap bentuk dari belajar tersebut mestilah sejalan dengan tujuan Al-qur’an, yakni mengadakan perubahan-perubahan postif dalam masyarakat, sesuai dengan gambaran Al-qur’an dalam surah Ibrahim ayat 1:
الر.كِـتَابٌ أَنْزَلْـنهُ إِلَـيْكَ لِـتُخْـرِجَ الـنَّاسَ مِنَ الظُّـلُـمَاتِ إِلىَ الـُّنـْورِبِـإِذْنِ رَبِّــهِمْ إِلىَ صِرَاطِ اْلعَـزِيْزِاْلحَـمِيْـدِ

“Ini adalah Kitab yang Kami turunkan kepadamu supaya kamu mengeluarkan manusia dari gelap gulita kepada cahaya terang benderang dengan izin Tuhan Yang Maha Kuasa lagi Maha Terpuji” (Qs. Ibrahim: 1)[9]

III.  Kewajiban Belajar Mengajar
A.     Pengertian belajar mengajar
Manusia dapat dikatakan sebagai makhluk belajar, karena “belajar” telah dimulainya bahkan sebelum berbentuk sebagai manusia yaitu ketika masih berbentuk spermatozoa yang belajar berusaha untuk mempertahankan eksistensinya ditengah 200-600 juta spermatozoa lainnya yang berjuang untuk survive menembus ovum untuk kemudian menjadi cikal bakal manusia yang mendiami rahim. Banyak diantaranya yang gugur ditengah jalan dan uniknya hanya satu atau dua sperma yang berhasil finish mencapai ovum dan terjadi konsepsi, sementara yang lain mati dan menjadi nutrisi bagi ovum yang telah dibuahi.[10]
Secara sederhana, belajar berarti berusaha mengetahui sesuatu, berusaha memperoleh ilmu pengetahuan (kepandaian, keterampilan).[11] Belajar adalah sesuatu yang menarik karena sebagai makhluk individu dan makhluk sosial manusia selalu berusaha mengetahui sesuatu  yang berada dalam lingkungannya untuk menunjukkan eksistensi kemanusiaannya. Sedangkan mengajar adalah memberikan serta menjelaskan kepada orang tentang suatu ilmu; memberi pelajaran.
Dari definisi tersebut, dapat disimpulkan bahwa kegiatan belajar mengajar merupakan suatu aktifitas yang dikerjakan dalam rangka memperoleh ilmu pengetahuan, sedangkan dalam proses itu sendiri ada sipelajar yang menerima ilmu dan ada guru yang memberikan pelajaran. Maka berbicara tentang belajar mengajar, tidak bisa dilepaskan dari ilmu pengetahuan itu sendiri sebagai objek dari kegiatan ini.
Sejak awal kehadirannya, islam telah memberikan perhatian yang amat besar terhadap kegiatan belajar dalam arti yang seluas-luasnya. Hal ini antara lain dapat dilihat pada apa yang ditegaskan dalam al-Qur’an, dan pada yang secara empiris dapat dilihat dalam sejarah. Yang dimakud dengan belajar mengajar (pendidikan) dalam arti yang seluas-luasnya disini adalah pendidikan yang bukan hanya berarti formal seperti disekolah, tetapi juga yang informal dan nonformal. Yaitu pendidikan dan pengajaran yang dilakukan oleh siapa saja yang memiliki ilmu pengetahuan dan keahlian, kepada siapa saja yang membutuhkan, dimana saja mereka berada, menggunakan sarana apa saja, dengan cara-cara apa saja, sepanjang hayat manusia itu.[12]
B.      Ilmu Pengetahuan dalam Islam
Kata ilmu berasal dari bahasa arab ‘ilm yang berarti pengetahuan, merupakan lawan kata jahl yang berarti ketidaktahuan atau kebodohan. Sumber lain mengatakan bahwa kata ‘ilm adalah bentuk masdar  dari ‘alima, ya’lamu-‘ilman. kata ilmu biasa disepadankan dengan kata arab lainnya yaitu ma’rifah (pengetahuan), fiqh (pemahaman), hikmah (kebijaksanaan), syu’ur (perasaan). Ma’rifah adalah padanan kata yang paling sering digunakan.[13]
Dalam dunia islam, ilmu bermula dari keinginan untuk memahami wahyu yang terkandung dalam al-Qur’an dan bimbingan Nabi Muhammad SAW mengenai wahyu tersebut. Al-‘ilm itu sendiri dikenal sebagai sifat utama Allah SWT. Dalam bentuk kata yang berbeda, Allah SWT disebut juga sebagai al-‘A<lim dan ‘Ali>m, yang artinya “Yang Maha Mengetahui atau Yang Maha Tahu”. Ilmu merupakan satu-satunya kata yang komprehensif serta bisa digunakan untuk menerangkan pengetahuan Allah SWT. Keterangan tafsir seringkali menekankan hubungan yang erat dengan kelima ayat al-Qur’an yang pertama diwahyukan (QS. Al-‘Alaq, ayat 1-5).[14]
Kata ilmu sendiri dengan berbagai bentuknya terulang sebanyak 854 kali dalam al-Qur’an. Dalam al-Qur’an, ilmu merupakan keistimewaan yang menjadikan manusia unggul terhadap makhluk-makhluk lainnya guna menjalankan fungsi kekhalifahannya. Manusia, menurut al-Qur’an memiliki potensi untuk meraih ilmu dan mengembangkannya dengan seizin Allah, karena itu bertebaran ayat yang memerintahkan manusia untuk mewujudkan hal tersebut. Berkali-kali pula al-Qur’an menunjukkan betapa tinggi kedudukan orang yang berpengetahuan.
Al-Qur’an memberikan prinsip dasar tentang ilmu pengetahuan pada wahyu pertama, yaitu:
إِقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ الَّذِي خَلَقَ (1)  خَلَقَ الْإِنْسَانَ مِنْ عَلَقٍ (2)  إِقْرَأْ وَرَبُّكَ الأَكـْرَمُ (3) الَّذِي عَلَّمَ بِالْقَلَمِ (4)  عَلَّمَ الإ ِنْسَانَ مَا لَمْ يَعْلَمْ (5)

1.      Bacalah dengan menyebut nama Tuhanmu yang menciptakan
2.      Dia yang telah menciptakan manusia dari segumpal darah
3.      Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Mahamulia
4.      Yang mengajar (manusia) dengan pena
5.      Dia mengajarkan manusia apa yang tidak diketahuinya.

Dalam ayat ini kata iqra’ dapat berarti membaca atau mengkaji. Sebagai aktivitas intelektual dalam arti yang luas, guna memperoleh berbagai pemikiran dan pemahaman, tetapi segala pemikiran itu tidak boleh lepas dari Aqidah Islam, karena iqra` haruslah dengan bismi rabbika.
Menurut Quraish Shihab,[15] kata iqra’ terambil dari akar kata yang berarti menghimpun, yang mana melahirkan makna lain seperti, menyampaikan, menelaah, mendalami, meneliti, mengetahui ciri sesuatu, dan membaca baik teks yang tertulis maupun yang tidak. Wahyu pertama ini tidak menjelaskan hal spesifik tentang apa yang harus dibaca, karena Al-Qur’an menghendaki ummatnya membaca apa saja selama bacaan itu bismi Rabbik, dalam artian bermanfaat bagi manusia.
Sementara kata al-qalam adalah simbol transformasi ilmu pengetahuan dan teknologi, nilai dan keterampilan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Kata ini merupakan simbol abadi sejak manusia mengenal baca-tulis hingga dewasa ini. Proses transfer budaya dan peradaban tidak akan terjadi tanpa peran penting tradisi tulis–menulis yang dilambangkan dengan al-qalam.
Selanjutnya, dapat diketahui pula bahwa ada dua cara perolehan dan  pengembangan ilmu, yaitu Allah mengajar dengan pena sebagaimana yang telah diketahui manusia lain sebelumnya, dan mengajar manusia tanpa pena yang belum diketahuinya. Cara pertama adalah mengajar dengan alat atau atas dasar usaha manusia dan cara kedua adalah mengajar tanpa alat dan tanpa usaha manusia. Meskipun berbeda namun keduanya bersumber dari satu sumber yaitu Allah SWT.[16]
Wahyu pertama ini dimulai dengan kata ( إقرأ = membaca) yaitu bentuk kata perintah atau فعل الأمر yang merupakan perubahan dari kata bentuk mudha>ri’ yang dibentuk dengan mengganti awalan katanya dengan huruf alif.[17] Menurut kaidah ushul al-fiqh, bahwa kata-kata dalam al-qur’an yang dimulai dari kata perintah adalah merupakan kewajiban dari perintah iu sendiri, al-ashl fi> al-amr lil wuju>b. Dari sini dapat dipahami bahwa perintah belajar (membaca) merupakan sebuah kewajiban bagi ummat islam. Hal ini sesuai dengan sabda Nabi Muhammad SAW:
طَلَبُ اْلعِلْمِ فَرِيْضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ وَ مُسْلِمَةٍ

Menuntut ilmu adalah fardhu bagi setiap muslim dan muslimat [18]
Menurut Al-Ghazali,[19] hadith ini menerangkan bahwa sekurang-kurangnya yang wajib bagi seorang muslim setelah mencapai akil baligh dan keislamannya adalah mengetahui dua kalimat syahadat dan memaknai maknanya, tidak wajib baginya untuk menyempurnakannya dengan penjelasan-penjelasan terperinci.
Selain itu, menurut Abuddin Nata,[20] wahyu pertama ini juga mengandung perintah agar manusia memiliki keimanan, yaitu berupa keyakinan terhadap adanya kekuasaan dan kehendak Allah, yang juga mengandung pesan ontologis tentang sumber dari ilmu pengetahuan. Pesan membaca itu dipahami dalam objek yang bermacam-macam, yaitu berupa apa yang tertulis seperti dalam surah Al-‘Alaq itu sendiri dan yang tidak tertulis sperti yang terdapat pada alam jagat raya dengan segala hukum kausalitas yang ada didalamnya, dan dalam diri manusia.
Membaca (belajar) menjadi penting dan wajib karena dengan begitu manusia dapat mengetahui hal-hal baru yang dapat memudahkannya dalam menjalani kehidupannya. Masih menurut Nata,[21] membaca ayat-ayat Allah yang ada dalam al-Qur’an dapat menghasilkan ilmu-ilmu agama seperti Fiqih, Tauhid, Akhlak dan sebagainya. Sedangkan membaca yang ada dijagat raya dapat menghasilkan ilmu sains seperti fisika, biologi, kimia dan sebagainya. Selanjutnya dengan membaca ayat-ayat Allah yang ada dalam diri manusia dari segi fisiknya menghasilkan sains seperti ilmu kedokteran dan ilmu raga, sedangkan dari tingkah lakunya dapat menghasilkan ilmu ekonomi, politik, sosiologi, antropologi dan lain sebagainya.
Dengan demikian, karena objek ontologi seluruh ilmu tersebut adalah ayat-ayat Allah, maka sesungguhnya ilmu itu pada hakekatnya adalah milik Allah dan harus diabdikan untuk Allah. Manusia hanya menemukan dan memanfaatkan ilmu-ilmu itu. Maka pemanfaatannya harus ditujukan untuk mengenal, mendekatkan diri dan beribadah kepada Allah SWT.
IV.  Kesimpulan
Dalam banyak ayat, islam memotivasi pemeluknya untuk selalu belajar dengan membaca, menelaah dan meneliti segala sesuatu yang menjadi fenomena dan gejala yang terjadi di jagad alam raya ini untuk memperoleh ilmu pengetahuan, bukan hanya pengetahuan yang terkait urusan ukhrowi saja tetapi juga urusan duniawi juga. Karena manusia dapat mencapai kebahagiaan hari kelak dengan melalui jalan kehidupan dunia ini.
Tauhid merupakan hal yang paling mendasar dan fundamental pada aspek pendidikan. Hal ini sejalan dengan tujuan pendidikan yaitu sebagai sarana untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT. Olehnya itu, Penuntut ilmu diharapkan dapat berperan menjadi khalifah Allah dimuka bumi ini sesuai dengan konsep tauhid dan tujuan penciptaannya dimuka bumi ini.
Keterangan tafsir seringkali menekankan hubungan yang erat dengan kelima ayat al-Qur’an yang pertama diwahyukan (QS. Al-‘Alaq, ayat 1-5). Dalam ayat ini kata iqra’ dapat berarti membaca atau mengkaji, yaitu aktivitas intelektual dalam arti yang luas, guna memperoleh berbagai pemikiran dan pemahaman, tetapi segala pemikiran itu tidak boleh lepas dari Aqidah Islam, karena iqra` haruslah dengan bismi rabbika.  Kata perintah yang memulai ayat ini mengandung pengertian tentang kewajiban menuntut ilmu bagi seorang muslim karena dengan membaca (belajar) manusia dapat mengetahui hal-hal baru yang dapat memudahkannya dalam menjalani kehidupannya. Namun, sesungguhnya ilmu itu pada hakekatnya adalah milik Allah dan harus diabdikan untuk Allah, pemanfaatannya harus ditujukan untuk mengenal, mendekatkan diri dan beribadah kepada Allah SWT.


[1] Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya (Jakarta: CV. Naladana, 2004), 793.
[2] Ahmad Musthafa Al-Maraghi, Terjemah Tafsir Al-Maragi (Semarang: Toha Putra, 1993), 25.
[3] M. Quraish Shihab,  Secercah Cahaya Ilahi: Hidup Bersama Al-quran  (Bandung: Mizan, 2000), 67.
[4] Pupuh Fathurrohman dan M. Sobry Sutikno, Strategi Belajar Mengajar: Melalui Penanaman Konsep Umum & Konsep Islam (Bandung: PT Refika Aditama, 2010), 121.
[5]  Departemen Agama,  Al-Qur’an (Jakarta: CV. Naladana, 2004), 306-307.
[6] Umar Shihab, Kontekstualitas Al-Qur’an: Kajian Tematik Atas Ayat-ayat Hukum Dalam Al-Qur’an. Cetakan V (Jakarta: Penamadani, 2008), 157.
[7] Fathurrohman dan  Sutikno, Strategi Belajar Mengajar  (Bandung: PT Refika Aditama, 2010), 121.
[8] Umar Syihab, Alquran dan Rekayasa Sosial, (Ujung Pandang: Kab’tan, 1989), 95.
[9] Departemen Agama,  Al-Qur’an (Jakarta: CV. Naladana, 2004), 345.
[10] Muhammad Izzuddin Taufiq, Dalil Anfus Alqur’an Dan Embriologi (Ayat-ayat Tentang Penciptaan Manusia) (Solo: Tiga Serangkai, 2006), 42.
[11] Tim Redaksi Bahasa Indonesia, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Pusat Bahasa, 2008), 28.
[12] Abuddin Nata, Tafsir Ayat-ayat Pendidikan (Tafsir Al-ayat Al-Tarbawy) (Jakarta: Rajagrafindo, 2002), 35.
[13] Ibid, 155
[14] Ibid, 157
[15] M. Quraish Shihab, Wawasan Al-qur’an: Tafsir Maudhu’i Atas Pelbagai Persoalan Umat  (Bandung: Mizan, 2001), 433.
[16] Ibid, 434.
[17] Abdullah Abbas Nadwi, Learning The Language Of The Holy Al-Qur’an (Belajar Mudah Bahasa Al-Qur’an) (Bandung: Mizan, 1996), 186.
[18] Dikutip dari Al-Ghazali, Mutiara Ih}ya>’ ’Ulu>muddi>n: Ringkasan Yang Ditulis Sendiri Oleh Sang Hujjatul-Islam (Bandung: Mizan, 2003), 26.
[19] Ibid, 27
[20] Nata, Tafsir Ayat-ayat Pendidikan (Jakarta: Rajagrafindo, 2002), 43.
[21]  Ibid, 44.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar