Selasa, 26 Juni 2012

Aliran Filsafat Realisme


REALISME
Oleh : Arman  B

I.        Pendahuluan
Studi tentang filsafat yang berkaitan dengan ketuhanan, alam, dan manusia melahirkan berbagai macam aliran filsafat. Hal ini  disebabkan karena filsafat yang merupakan hasil dari pemikiran seseorang atau beberapa ahli filsafat tentang suatu hal secara mendalam dan fundamental, menggunakan cara pendekatan yang berbeda dalam memecahkan suatu masalah yang pada akhirnya melahirkan kesimpulan-kesimpulan yang berbeda pula, meskipun  menghadapi permasalahan yang sama. Perbedaan ini dapat disebabkan pula oleh faktor-faktor lain seperti kondisi historis, sosio-kultural, pengaruh zaman, dan alam pikiran dari individu  para filosof tersebut.
Teori-teori tentang ajaran filsafat yang berbeda-beda tersebut, oleh para peneliti dikaji sedemikian rupa sehingga menghasilkan susunan dalam suatu sistematika dengan kategori tertentu yang menghasilkan klasifikasi-klasifikasi teori. Dari sinilah kemudian lahir apa yang disebut aliran filsafat seperti;  rasionalisme, idealisme, empirisme, pragmatism, realisme, positivisme, matrealisme, eksistensialisme, dan lain sebagainya.
Dunia benda dengan segala realitas obyektif yang dirasakan oeh indera saat berinteraksi dengannya harus memberikan penjelasan meyakinkan kesalahan, atau sebaliknya harus menjelaskan kebenaran. Lalu, bagaimana filsafat memandang hal tersebut?. Makalah ini akan membahas tentang konsep realitas dari sudut pandang filsafat aliran realisme, dan jenis aliran realisme.
II.     Filsafat dan Realisme
a.      Filsafat
Secara sederhana filsafat berarti pengetahuan dan penyelidikan dengan akal budi mengenai hakikat segala yang ada, sebabnya, asalnya, dan hukumnya.[1] Kata ini memiliki padanan kata philosophia dalam bahasa Latin, philosophy dalam bahasa Inggirs, philosophic dalam bahasa Jerman, Belanda, dan Prancis, dan falsafah dalam bahasa Arab. Semua istilah ini bersumber dari bahasa Yunani yaitu, philosophia yang terambil dari kata philein yang berarti “mencintai”, sedangkan philos yang berarti “teman, kawan, sahabat”. Selanjutnya, istilah sophos yang berarti “bijaksana”, sedangkan Sophia yang berarti “kebijaksanaan”.[2]
Dalam konteks keindonesiaan, penulis lebih cendrung sepakat dengan istilah filsafat dalam pandangan Harun Nasution yang dikutip oleh Bakhtiar.[3] Beliau mengatakan bahwa kata “filsafat” dalam istilah Indonesia berawal dari bahasa Arab, falsafah, bukan Inggris. Hal ini disebabkan karena bahasa Arab lebih awal mempengaruhi bahasa Indonesia dibandingkan bahasa Inggris. Mizan atau timbangan kata falsafah adalah fa’lala, fa’lalah dan fi’la>l. Dengan demikian, kata benda dari falsafa seharusnya falsafah dan filsaf. Menurutnya, dalam bahasa Indonesia banyak terpakai kata filsafat, padahal bukan berasal dari kata Arab, falsafah, dan bukan dari kata Inggris, philosophy. Kendati demikian, istilah filsafat bisa diterima dalam bahasa Indonesia karena sebagian kata Arab yang di-Indonesia-kan mengalami perubahan dalam huruf vokalnya, seperti masjid menjadi mesjid dan kara>mah menjadi keramat. Karena itu, perubahan huruf a menjadi i dalam kata falsafah dapat ditolerir.[4]
Ada dua arti secara etimologis dari kata filsafat yang sedikit berbeda. Pertama, apabila istilah filsafat mengacu pada asal kata philein dan sophos, maka artinya mencintai hal-hal yang bersifat bijaksana (bijaksana dimaksudkan sebagai kata sifat). Kedua, apabila filsafat mengacu pada asal kata philos dan sophia, maka artinya adalah teman, kawan, sahabat kebijaksanaan (kebijaksanaan dimaksudkan sebagai kata benda).[5]
Plato mengatakan, bahwa filsafat adalah pengetahuan tentang segala yang ada. Aristoteles menjabarkan, bahwa filsafat adalah menyelidiki sebab dan asas segala benda. Sementara Al-Farabi mengatakan, bahwa filsafat adalah pengetahuan tentang alam yang maujud dan bertujuan untuk menyelidiki hakikat yang sebenarnya. Sedangkan Immanuel Kant berpendapat, bahwa filsafat adalah pengetahuan mengenai pokok pangkal dari segala pengetahuan dan perbuatan. Sementara Harun Nasution mengatakan bahwa filsafat adalah berfikir menurut tata tertib (logika) dengan bebas (tidak terikat pada tradisi, dogma, dan agama) dan dengan sedalam-dalamnya, sehingga sampai ke dasar-dasar persoalan.[6]
Perbedaan pendapat yang dikemukakan oleh tokoh-tokoh filsafat tersebut dapat disebabkan oleh perbedaan pandangan mengenai fungsi filsafat pada masing-masing tokoh dan latar belakang mereka yang berbeda-beda pula. Namun, dari perbedaan-perbedaan tersebut, dapat ditarik kesimpulan bahwa terdapat persamaan yang merupakan unsur-unsur dasar dari filsafat itu sendiri. Unsur-unsur dasar dalam filsafat itu adalah pembahasan tentang segala yang ada yang dikaji secara radikal, rasional, sistematis, bebas, kritis, dan universal.
Untuk mengetahui tentang arti dan hakikat dari filsafat, sebaiknya tidak perlu untuk mengetahui arti dari filsafat itu sendiri. Sebab, semakin mendalam mempelajari dan membaca hal-hal yang menyangkut filsafat, maka akan melahirkan pengertian sendiri yang lebih konprehensif tentang filsafat itu. Setelah berfilsafat sendiri, maka ia akan menjadi semakin maklum akan makna filsafat, dan makin dalam ia berfilsafat maka semakin dalam pula pemahamannya tentang hakikat filsafat, namun dengan catatan bahwa ia memiliki stabilitas mental yang cukup dan telah memiliki dasar-dasar keilmuan lain yang dapat mendukung analisa filsafatnya.
Dalam sejarah filsafat, biasanya filsafat Yunani dimajukan sebagai pangkal sejarah filsafat barat. Hal ini disebabkan karena dunia barat dalam alam pikirannya berpangkalkan kepada pikiran Yunani. Didaerah Yunani, atau setidak-tidaknya didaerah yang dimasukkan ke dalam wilayah Yunani, sudah sedemikan lama sebelum permulaan tahun Masehi ahli-ahli pikir mencoba menerka teka-teki alam. Mereka mencoba mendalami dan mau mengerti apakah yang menjadi asal mula alam yang melingkunginya itu dengan segala isi yang terkandung didalamnya.[7]
Pengembaraan akal dan wisata pencarian hakikat  sesuatu yang dialami oleh para ahli pikir secara radikal dan mendalam menimbulkan pertanyaan-pertanyaan kritis seperti apa, mengapa, dan bagaimana, yang pada akhirnya melahirkan jawaban-jawaban spekulatif yang memunculkan teori-teori filsafat. Perbedaaan sudut pandang dalam memaknai sesuatu ini pada gilirannya menjadi dasar dalam timbulnya berbagai aliran filsafat, salah satunya adalah realisme.
b.      Realisme
Realisme berasal dari kata dalam bahasa Inggris yaitu real, atau yang nyata.[8] Dalam pengertian lain real berarti existing in fact; not imagine or supposed,[9] yang dalam bahasa Indonesia dapat diartikan yang ada secara fakta, tidak dibayangkan atau diperkirakan. Adapun kata fakta dalam bahasa Indonesia berarti hal (keadaan, peristiwa) yang merupakan kenyataan; sesuatu yg benar-benar ada atau terjadi.[10] Realisme juga berasal dari kata Latin realis yang berarti nyata. Dalam bidang metafisika, realisme berarti konsep-konsep umum yang disusun oleh budi manusia yang sungguh juga terdapat dalam kenyataan, lepas dari pikiran manusia.[11]
Aliran Realisme adalah aliran filsafat yang memandang bahwa realitas sebagai dualitas. Aliran realisme memandang dunia ini mempunyai hakikat realitas terdiri dari dunia fisik dan dunia rohani. Hal ini berbeda dengan filsafat aliran idealisme yang bersifat monistis yang memandang hakikat dunia pada dunia spiritual semata. Hal ini berbeda dari aliran materialisme yang memandang hakikat kenyataan adalah kenyatan yang bersifat fisik semata. Realisme membagi realitas menjadi dua bagian yaitu subjek yang menyadari dan mengetahui di satu pihak dan yang kedua adanya realita di luar manusia yang dapat dijadikan objek pengetahuan manusia.[12] Aliran ini juga berpandangan realistis terhadap alam dan berpendirian bahwa pengetahuan manusia itu adalah gambaran yang baik dan tepat dari kebenaran.
Menurut aliran realisme, pengetahuan adalah gambaran atau kopi yang sebenarnya dari apa yang ada dalam alam nyata (dari fakta atau hakikat).[13] Aliran ini berpandangan bahwa apa yang diketahui oleh manusia yang terdapat dalam akalnya adalah pada hakikatnya merupakan penggambaran atau kopian dari apa yang terdapat diluar akalnya. Hal ini tidak ubahnya seperti sebuah gambar hasil lensa kamera yang merupakan representasi dari gambar aslinya. Dengan demikian, realisme berpendapat bahwa pengetahuan adalah benar dan tepat bila sesuai dengan kenyataan yang ada. Untuk itu, sebuah teori pengetahuan mengakui dunia benda dengan realitas obyektif dapat kita rasakan saat indera kita berinteraksi dengan mereka.
Hal ini bertentangan dengan pandangan yang menyatakan bahwa kita dapat memiliki pengetahuan tentang dunia "nyata" seperti dunia, hanya karena dianggap atau muncul kepada kami. Dalam realis, harus memberikan penjelasan meyakinkan kesalahan, sedangkan lawan harus menjelaskan kebenaran. Yang pertama mungkin terbukti lebih mudah daripada yang kedua.[14] Dalam persepsi, kita langsung sadar akan objek-objek lain. Objek ini bersifat umum dalam arti bahwa objek yang sama dapat dipersepsi oleh pengamat yang jumlahnya tak terbatas. Objek-objek ini bersifat permanen yang selalu sama baik dipersepsi ataupun tidak.[15] Maka dalam eksistensi mereka sendiri, objek-objek itu memiliki kualitas-kualitas yang sama seperti yang mereka sajikan pada persepsi. Maka tindakan persepsi saya, anda, dan semua orang tidak akan mengubah objek itu sedikitpun. Keluasan, gerak, daya tahan, besaran, warna, suara, rasa, kehangatan, dan sebagainya yang saya persepsi selalu melekat pada objek itu, bahkan kalaupun objek itu tidak dipersepsi oleh saya, anda, dan semua orang yang mengamatinya.
Realisme juga beranggapan bahwa objek-objek pengetahuan yang diketahui adalah adalah nyata dalam dirinya sendiri. Objek-objek tersebut tidak bergantung adanya pada pikiran. Pikiran dan dunia luar saling berinteraksi, akan tetapi interaksi ini tidak mempengaruhi sifat dasar dunia. Dunia tetap ada sebelum pikiran menyadarinya dan akan tetap ada setelah pikiran berhenti menyadarinya.[16]
Menurut Poedjawijatna,[17] realitas yang objektif dapat memberi dasar bagi penyelidikan dunia diluar kita dan kesadaran kita. Adapun bukti-bukti adanya realitas yang objektif tersebut, adalah; 1) apa-apa yang terdapat pada pengalaman dalam dan luar itu memberikan sebab yang harus berupa realitas (bukti causal), 2). Pengalaman yang tidak kita kehendaki sendiri (jadi bukan fantasi) tak mungkin, jika tak ada hal-hal diluar kita (bukti subtract), dan 3) adanya hal-hal sebelum ada pengalaman dan dan terus adanya sesudah pengalaman itu mengharuskan adanya hal-hal itu tergantung dari pengalaman (bukti continuitas).
Para realis mengembangkan teori ilmu diberangkatkan dari masalah apakah yang disebut: real, exist dan true. Suatu teori dianggap benar bila memang riil, dan secara subtantif ada, dan memang benar, bukan menyajikan fiksi. Subtansi itu sendiri tidak selalu tampil subtantif seperti besi, manusia dan pohon pisang, melainkan mungkin saja tampil sebagai jenis logam, sebagai satuan masyarakat dan sebagai sifat  basah. Bagi para realis, sesuatu teori itu dipandang benar bila memenuhi tiga kriteria, yaitu:  a. memenuhi harapan, artinya cocok dengan prediksinya, atau cocok dengan eksplanasinya, b. dapat diamati dan efektif, dan c. subtantif.[18] Sedangan konsep filsafat menurut aliran realisme adalah:
1.      Metafisika-realisme, kenyataan yang sebenarnya hanyalah  kenyataan fisik (materialisme); kenyataan material dan immaterial (dualisme), dan kenyataan yang terbentuk dari berbagai  kenyataan (pluralisme).
2.      Humanologi-realisme, hakekat manusia terletak pada apa yang dapat dikerjakan. Jiwa merupakan sebuah organisme kompleks yang mempunyai kemampuan berpikir;
3.      Epistemologi-realisme, kenyataan hadir dengan sendirinya tidak tergantung pada pengetahuan dan gagasan manusia, dan kenyataan dapat diketahui oleh pikiran. Pengetahuan dapat diperoleh melalui penginderaan. Kebenaran pengetahuan dapat dibuktikan dengan memeriksa kesesuaiannya dengan fakta;
4.      Aksiologi-realisme, tingkah laku manusia diatur oleh hukum-hukum  alam yang diperoleh melalui ilmu, dan pada taraf yang lebih rendah diatur oleh kebiasaan-kebiasaan atau adat-istiadat yang telah teruji dalam kehidupan.[19]
Dalam kaitannya dengan konteks keilmuan, aliran realisme terbagi menjadi dua yaitu realisme ilmiah dan anti-realisme ilmiah. Realisme ilmiah adalah suatu paham yang ada dalam dunia ilmu pengetahuan. Paham ini menyatakan bahwa objek-objek dalam pengetahuan ilmiah itu benar-benar ada dan terpisah dari ilmuan.[20] Dalam sebuah pengetahuan ilmiah, sering kita dapati suatu istilah-istilah tertentu yang menunjuk pada objek dalam suatu ilmu pengetahuan ilmiah. Objek pengetahuan alam atau pengetahuan sosial. Realisme ilmiah berpendapat bahwa apa-apa yang disebutkan oleh pengetahuan ilmiah itu sebenarnya ada di alam nyata, terpisah dan independen dari peneliti. Objek-objek dan relasi-relasi yang digambarkan oleh ilmu pengetahuan itu ada dan nyata dalam alam nyata. Pendapat ini berarti bahwa manusia dengan ilmu pengetahuannya mampu mengakses alam nyata. Segala yang dikatakan para ilmuan merujuk pada suatu keberadaan di alam nyata, tentu relatif tergantung pada perkembangan ilmu pada masa itu.
Pandangan ini ditentang oleh mereka yang menganut paham anti-realisme. Anti-realisme berpendapat bahwa objek-objek pengetahuan ilmiah eksis sebagaimana di alam nyata. Objek-objek dalam ilmu pengetahuan dinilai dari kebergunaan. Maka dari itu, mereka berpendapat bahwa objek-objek ilmu pengetahuan lebih berdasar pada bisa dipercaya daripada kebenaran. Mereka lebih memfokuskan diri pada sisi pragmatisme dari objek-objek itu. Di sisi lain ada yang berpendapat bahwa objek-objek ilmu pengetahuan merupakan hasil konsensus, ini karena fakta-fakta itu diciptakan oleh para ilmuan. Kadang seseorang bisa mempercayai bidang-bidang ilmu tertentu realis sedang bidang-bidang lain tidak realis. Sebagai contohnya seseorang bisa mempercayai bagian ilmu alam seperti : Fisika, kimia dan biologi sebagai realis, sedangkan dia bisa berpendapat bidang ilmu seperti psikologi, ekonomi, psikologi sebagai tidak realis.[21]
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa para realis pada kasus tertentu mengakui bahwa seseorang itu salah lihat pada benda-benda atau dia melihat dengan terpengaruh oleh berbagai keadaan disekelilingnya, namun mereka paham ada benda yang dianggap mempunyai wujudnya sendiri, ada benda yang tetap meski tidak diamati.
III.  Kesimpulan
Unsur-unsur dasar dalam pembahasan filsafat adalah tentang segala yang ada yang dikaji secara radikal, rasional, sistematis, bebas, kritis, dan universal. semakin mendalam mempelajari dan membaca hal-hal yang menyangkut filsafat, maka akan melahirkan pengertian yang lebih konprehensif tentang filsafat itu. Setelah berfilsafat sendiri, maka seseorang akan menjadi semakin maklum akan makna filsafat, dan makin dalam ia berfilsafat maka semakin dalam pula pemahaman tentang hakikat filsafat. Perbedaaan sudut pandang dalam mendalami filsafat menjadi dasar timbulnya berbagai aliran filsafat, salah satunya adalah realisme.
Aliran realisme memandang dunia ini mempunyai hakikat realitas yang terdiri dari dunia fisik dan dunia rohani. Realisme juga beranggapan bahwa objek-objek pengetahuan yang diketahui adalah adalah nyata dalam dirinya sendiri. Objek-objek tersebut tidak bergantung adanya pada pikiran, maka persepsi seseorang itu tidak akan mengubah eksistensi sesuatu. Oleh karena itu, pengetahuan adalah benar dan tepat bila sesuai dengan kenyataan yang ada, dapat memberikan penjelasan meyakinkan kesalahan dan harus menjelaskan kebenaran.


DAFTAR PUSTAKA

Bakhtiar, Amsal. Filsafat Agama: Wisata Pemikiran dan Kepercayaan Manusia. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2007.
Echols, Jhon. M. and Hassan Shadily. An English – Indonesian Dictionary. New York and London: Cornell University Press, 1996.

Fendy,  Ridwan. Realisme Ilmiah dan Anti-Realisme Ilmiah.” (May 5th, 2011,) http:// www.filsafatilmu.com/artikel/pengertian/realisme-ilmiah-dan-anti-realisme-ilmiah (Diakses 20 juni 2012)

Gallagher, Kenneth T. The Philosophy of Knowledge (Epistemologi Filsafat Pengetahuan). Terjemahan P. Hardono Hadi. Yogyakarta: Kanisius, 1994.
Hartoko, Dick. Kamus Populer Filsafat. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2002.
Hornby, AS, AP Cowie, and AC Gimson. Oxford Advanced Learner’s Dictionary Of Current English. Oxford: Oxford University Press, 1987.
Ihsan, H.A. Fuad. Filsafat Ilmu. Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2010.
Muhadjir, Noeng. Filsafat Ilmu: Telaah Sistematis Fungsional Komparatif. Yogyakarta: Rake Sarasin, 1998.
Poedjawijatna. Pembimbing Ke Arah Alam Filsafat. Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1994.
Progresiff, Aam. “Pendidikan Menurut Aliran Realisme.” (7 februari 2011.) ”http://id.shvoong.com/social-sciences/2114004-pendidikan-menurut-aliran-realisme/ (Diakses 21 juni 2012).
Randa, “Filsafat Pendidikan Realisme.” (5 April 2012), http://randa26. wordpress.com/2012/04/05/filsafat-pendidikan-realisme/ (Diakses 21 Juni 2012).
Subati, Bogi. “Realisme.” 1 januari 2001), http://id.shvoong.com/social-sciences/sociology/2094823-pengertian-realisme-idealisme-dan-utopianisme/ (Diakses, 21 juni 2012).

Suryana, Cahya. “Pendidikan Menurut Aliran Filsafat Idealisme dan Realisme: Implikasinya Dalam Pendidikan Luar Sekolah.” http:// csuryana.wordpress.com/2009/04/23/pendidikan-menurut-aliran-filsafat-idealisme-dan-realisme-implikasinya-dalam-pendidikan-luar-sekolah-pls/ (Diakses 20 juni 2012).

Tim Redaksi Bahasa Indonesia. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Pusat Bahasa, 2008.


[1] Tim Redaksi Bahasa Indonesia, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Pusat Bahasa, 2008), 410.
[2] H.A. Fuad Ihsan, Filsafat Ilmu (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2010), 1.
[3] Amsal Bakhtiar, Filsafat Agama: Wisata Pemikiran dan Kepercayaan Manusia (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2007), 6.

[4] Ibid, 7.
[5] Ihsan, Filsafat Ilmu, 1.
[6] Amsal Bakhtiar, Filsafat Agama, 7-9.
[7] Poedjawijatna, Pembimbing Ke Arah Alam Filsafat  (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1994), 22.
[8] Jhon. M. Echols, and Hassan Shadily. An English – Indonesian Dictionary. New York and London: Cornell University Press, 1996.
[9] AS Hornby, AP Cowie, and AC Gimson. Oxford Advanced Learner’s Dictionary Of Current English (Oxford: Oxford University Press, 1987), 700.
[10] Tim Redaksi, Kamus Besar, 468.
[11] Dick Hartoko, Kamus Populer Filsafat (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2002), 81.
[12] Aam Progressif, “Pendidikan Menurut Aliran Realisme,” (7 februari 2011,) ”http://id.shvoong.com/social-sciences/2114004-pendidikan-menurut-aliran-realisme/ (Diakses 21 juni 2012).
[13] Amsal Bakhtiar, Filsafat Agama, 37.
[14] Bogi Subati, “Realisme,” (1 januari 2001), http://id.shvoong.com/social-sciences/sociology/2094823-pengertian-realisme-idealisme-dan-utopianisme/ (Diakses, 21 juni 2012).
[15] Kenneth T. Gallagher, The Philosophy of Knowledge (Epistemologi Filsafat Pengetahuan), (Yogyakarta: Kanisius, 1994), 79.
[16] [16] H.A. Fuad, Filsafat Ilmu, 90.
[17] Poedjawijatna, Pembimbing, 134.
[18] Noeng Muhadjir, Filsafat Ilmu: Telaah Sistematis Fungsional Komparatif (Yogyakarta: Rake Sarasin, 1998), 48.
[19] Cahya Suryana, “Pendidikan Menurut Aliran Filsafat Idealisme dan Realisme: implikasinya Dalam Pendidikan Luar Sekolah,“ http://csuryana.wordpress.com /2009/04/23/ pendidikan-menurut-aliran-filsafat-idealisme-dan-realisme-implikasinya-dalam-pendidikan-luar-sekolah-pls/ (Diakses 20 juni 2012).

[20] Ridwan Fendy,  Realisme Ilmiah dan Anti-Realisme Ilmiah,” (May 5th, 2011,) http:// www.filsafatilmu.com/artikel/pengertian/realisme-ilmiah-dan-anti-realisme-ilmiah (Diakses 20 juni 2012)

[21] Poedjawijatna, Pembimbing, 136.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar