MENJADI GURU
YANG MULTIKULTURALIS:
KARAKTERISTIK
DAN KOMPETENSI
Oleh : Arman B
I.
Pendahuluan
Telah menjadi
sebuah realitas sosial bahwa heterogenitas dengan segala diversitas sosial,
ekonomi, gender, kultur dan sebagainya adalah fenomena yang tak terbantahkan dalam
kehidupan masyarakat. Bahkan, ia telah hadir seiring dengan kelahiran ummat manusia.
Oleh karena itu, pemahaman multikulturalisme lewat jalur pendidikan menjadi urgen
adanya dalam usaha mereduksi kemungkinan terjadinya gesekan-gesekan akibat
perbedaan tersebut yang dapat menimbulkan konflik horizontal yang lebih luas.
Dalam hal ini, figur guru sebagai insan pendidik memiliki peran yang sangat
vital.
Sebagai pendidik,
guru semestinya memahami perbedaan kultur yang terdapat dalam peserta didik
untuk kemudian menjadikannya sebagai landasan berfikir dan bertindak dalam
memberikan perlakuan yang tidak diskriminatif kepada mereka. Tentu, hal ini bukanlah
tugas yang sederhana. Untuk itu, seorang guru dituntut memiliki beragam
spesialisasi yang dapat menjadikannya sebagai pendidik yang professional dan multikulturalis.
Namun, realitas yang ada menunjukkan bahwa belum semua guru memahami posisinya
sebagai pendidik dengan segala kompleksitas tugas dan tanggung jawabnya.
Sebagian guru
masih “memaknai” tugas mendidik hanya sebagai transformasi ilmu
pengetahuan dari seorang guru ke peserta didik tanpa penanaman nilai-nilai
luhur yang menghargai diversitas sosial, ekonomi, gender, kultur dan sebagainya.
Bahkan, tanpa disadari guru sering memberikan perlakuan yang tidak adil dengan
mengabaikan perbedaan-perbedaan yang cenderung merampas hak-hak asasi dengan memaksakan
“keseragaman” dalam ”keragaman” diversitas mereka. Hal ini, mungkin
disebabkan oleh karakter dan kompetensi yang dimiliki belum sesuai dengan
nilai-nilai luhur dari multikulturalisme. Pertanyaannya kemudian adalah, bagaimana
menjadi guru yang multikulturalis?. Makalah ini akan mengungkap gagasan-gagasan
tentang karakteristik dan kompetensi yang harus dimiliki oleh seorang guru
untuk menjadi guru yang multikulturalis.
II.
Guru
Yang Multikulturalis
Bangsa Indonesia adalah salah satu negara pluralis terbesar
didunia. Kebenaran pernyataan ini dapat dipahami mengingat bangsa ini terdiri
dari ratusan etnis, kepercayaan, budaya, dan adat istiadat yang tersebar
disekitar 13.000 pulau besar dan kecil serta berbicara dalam ratusan bahasa
daerah.[1]
Pluralisme multidimensional ini telah membentuk mozaik ke-Indonesia-an yang
sangat indah dan mempesona tetapi sekaligus sangat rawan terhadap konflik. Keindahan
dan pesona itu bisa tercipta ketika seluruh elemen masyarakat dapat hidup dalam
harmonisasi keragaman perbedaan yang saling menghargai satu sama lain. Namun, ketidakmampuan
mengelola pluralisme yang mengakibatkan terjadinya kecendrungan eksklusifisme, fanatisme
sempit, dan radikalisasi pemahaman dapat menyulut terjadinya percikan gejolak
sosial yang bernuansa SARA.[2]
Salah satu solusi yang dapat ditempuh dari pluralisme multidemensional
semacam ini adalah dengan menanamkan pemahaman kepada peserta didik terhadap eksistensi
heterogenitas dengan segala diversitas sosial, ekonomi, gender, kultur, agama,
kemampuan, umur, dan lain sebagainya dalam kehidupan bermasyarakat. Urgensi menanamkan pemahaman ini berakar dari
usaha untuk mencegah ancaman perampasan
hak-hak asasi setiap manusia sebagai makhluk berbudaya yang berhak mendapatkan
perlakuan secara manusiawi dan sederajat tanpa melihat latar belakang kehidupannya.
Hal tersebut dapat dilakukan dengan pendidikan multikultural melalui penerapan kurikulum
pendidikan yang berbasis pada pemanfaatan keragaman yang ada dalam masyarakat,
khususnya pada siswa.
Pendidikan harus berwawasan masa depan yang memberikan jaminan bagi
perwujudan hak-hak asasi menusia untuk mengembangkan seluruh potensi dan
prestasinya secara optimal.[3] Penddikan
yang baik harus menghadapkan para murid terhadap konsepsi-konsepsi yang
berbeda, system keyakinan, dan bentuk konseptualisasi pengalaman-pengalaman umum,
dan mengajak peserta didik untuk masuk kedalam semangat budaya lain, melihat
dunia dengan cara yang dilakukan orang lain dan menghargai segala kekuatan dan
keterbatasannya.[4]
Tanpa minat kepada budaya lain juga berarti tertutup kemungkinan bagi
perwujudan “tata multikultural” dalam kehidupan bermasyarakat. Akibatnya,
“budaya kaum” ataupun “budaya suku” yang tertutup dalam kelokalan dan
berorientasi ke masa silam, akan mengekang laju kemajuan masyarakat menuju
masyarakat informasi, “knowledge based society”, yang mengakibatkan
budaya masyarakat tidak akan menemukan dinamikanya sebagai “learning
culture” dalam menyesuaikan dengan kemajuan peradaban manusia.[5]
Untuk itu, peserta didik sejak dini perlu diberikan pemahaman tentang
multikulturalisme sebagai upaya untuk meningkatkan kesadaran mereka agar dapat
menghargai keragaman diversitas yang ada sehingga pada akhirnya dapat
berprilaku secara humanis, pluralis, dan demokratis.
Hal terpenting yang harus diperhatikan dalam pendidikan
multikultural adalah ketersediaan guru professional yang mengerti keragaman
diversitas peserta didiknya dan memahami cara untuk memanfaatkan keragaman yang
terdapat pada diri mereka dengan menanamkan nilai-nilai pendidikan yang
multikultural. Sebelum membahas lebih jauh tentang kompetensi dan karakter guru
yang multikulturalis, terlebih dahulu penulis akan memaparkan tentang konsep
guru dan multikultural.
Secara sederhana, guru adalah orang yang berprofesi mengajar.[6] Lebih
lanjut, menurut Fathurrahman dan Sutikno,[7]
guru adalah tenaga pendidik yang memberikan sejumlah ilmu pengetahuan dan
bertugas menanamkan nilai-nilai dan sikap kepada anak didik agar memiliki
kepribadian yang paripurna. Sedangkan multikulturalisme berarti keragaman
budaya.[8] Menurut
Suparlan dalam Suwito,[9]
Multikulturalisme adalah sebuah ideologi yang menekankan kesederajatan dalam
perbedaan-perbedaan kebudayaan.
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa guru yang multikulturalis
adalah seorang tenaga pendidik yang dapat membimbing dan mengembangkan potensi peserta
didik dengan menekankan pada kesederajatan dalam keragaman diversitas
kebudayaan dan latar belakang pada diri mereka, lingkungan masyarakat, atau
bahkan dunia secara keseluruhan. Untuk itu, seorang guru tidak hanya dituntut
untuk menguasai dan mampu secara profesional mengajarkan mata pelajaran atau
mata kuliah yang diajarkannya. Lebih dari itu, seorang pendidik (baca, guru)
juga harus mampu menanamkan nilai-nilai inti dari pendidikan multikultural
seperti demokrasi, pluralisme dan humanisme.
Guru yang multikulturalis dituntut harus mampu merealisasikan
tujuan akhir dari pendidikan multikultural yaitu menjadikan peserta didik tidak
hanya mampu memahami dan menguasai mata pelajaran yang dipelajarinya, tetapi juga
diharapkan mempunyai karakter yang kuat untuk selalu bersikap demokratis,
pluralis dan humanis.[10]
Lebih lanjut, guru harus mampu memanfaatkan sekaligus mengimplementasikan
strategi pendidikan yang menegakkan dan menghargai nilai-nilai pluralisme,
demokrasi dan humanisme yang menjunjung tinggi moralitas, kedisiplinan,
kepedulian humanistik, keadilan, dan kejujuran berprilaku sehari-hari. Pada
akhirnya, diharapkan dimasa mendatang guru yang multikulturalis ini akan menghasilkan
“generasi multikultural” yang memahami dan memiliki karakter kuat yang dapat menghargai
perbedaan yang ada ditengah kehidupan masyarakat.
III. Karakteristik dan Kompetensi Guru Multikulturalis
Guru
adalah pendidik yang menjadi tokoh, panutan, dan identifikasi bagi para peserta
didik, dan lingkungannya. Oleh karena itu, guru harus memiliki standar kualitas
tertentu.[11] Mengingat
latar belakang dan budaya peserta didik yang beragam, maka mendidik merupakan
sebuah profesi yang harus dipersiapkan terlebih dahulu dengan persiapan khusus.[12] Untuk
mewujudkan tangung jawab ini, khususnya bagi guru dengan keragaman diversitas
peserta didik, ada beberapa karakter dan kompetensi yang harus dimiliki untuk
menjadi guru yang multikulturalis.
A.
Karakteristik
Membahas
masalah pendidikan tidak akan sempurna tanpa memasukkan pembahasan guru
kedalamnya, karena guru merupakan salah satu elemen terpenting dalam
pengembangan pendidikan. Kurikulum yang baik hanya akan menjadi konsep sia-sia
tanpa penjabaran realistis atau hanya akan menjadi rencana kosong tanpa aksi
nyata tanpa keberadaan guru yang berkarakter. Menurut Getteng, [13] guru
secara umum seharusnya memiliki karakter kepribadian yang mantap, stabil,
dewasa, arif dan bijaksana, berwibawa, berakhlak mulia, menjadi teladan bagi
peserta didik dan masyarakat, objektif mengevaluasi kinerja sendiri, dan
mengembangkan diri secara mandiri dan berkelanjutan.
Banyak atribut
yang disandangkan kepada guru berkaitan dengan tugas mendidik yang diembannya,
seperti pendidik, pengajar, pembimbing, pelatih, penasehat, pemandu, pembaharu (inovator),
teladan atau model, peneliti, pendorong kreativitas, pembangkit pandangan,
pekerja rutin, pembongkar kemah, pembawa cerita dan aktor, emansipator, evaluator,
pengawet dan lain sebagainya. Namun, penulis sepakat dengan konsep yang
dipaparkan oleh Suyono dan Hariyanto,[14] bahwa
karakteristik yang harus dimiliki guru yang multikulturalis adalah sebagai
berikut.
Pertama, moral steward atau pemandu
moral, yang mengenali nilai-nilai dan kapabilitas serta hak-hak para peserta
didik. Hal ini menjadi penting mengingat akar dari pendidikan multicultural adalah
hak asasi manusia. Untuk itu, seorang guru harus mampu menjaga terciptanya
nilai-nilai HAM dalam proses pembelajaran.
Kedua, constructor atau
pembangun, yang memahami berbagai pokok bahasan dan paham berbagai cara
mengajarkannya untuk mengakomodasikan berbagai gaya belajar siswa. Karakter ini
adalah menuntut guru untuk membangkitkan pandangan tentang kebesaran kepada
peserta didik jika ia sendiri tidak memiliki kebesaran itu. Guru harus
membangun kesadaran peserta didik bahwa dengan potensi yang dimilikinya ia
dapat melebihi gurunya.
Ketiga, philoshoper atau ahli
filsafat yang merefleksi secara kritis tentang apa yang tercapai dan belum
tercapai selama pembelajaran. Dengan begitu, ia dapat menemukan solusi baru
dalam pembelajaran yang lebih efektif dan optimal.
Keempat, fasilitator yang
menciptakan kondisi aman, sehingga para siswa berani untuk mengambil resiko dan
membuat kesalahan atau kegagalan dalam pembelajaran dan memberi waktu kepada
mereka untuk mencobanya kembali. Guru harus memfasilitasi peserta didiknya
untuk melakukan berbagai percobaan dalam menemukan hal-hal baru tanpa merasa
takut gagal dengan menekankan pada proses yang terjadi, bukan hasil.
Kelima, the inquirer atau pencari
tahu sejati, yang selalu mengevaluasi hasil belajar peserta didik untuk mencari
tahu tentang berbagai hal yang telah dipelajari dan apa yang ingin
dipelajarinya lebih lanjut.
Keenam, bridger atau menjadi
jembatan, yang bermitra dengan orang tua, guru lain, dan komunitas lain para
pemangku kepentingan sekolah untuk menjamin bahwa ruang kelas tanggap terhadap
kebutuhan dan harapan masyarakat, dan gurulah yang dituntut dapat menjembatani
hal tersebut.
Ketujuh, the change maker atau
pembuat perubahan, yang secara aktif mencari solusi dan mengejar perubahan
dalam kelas, sekolah, wilayah, asosiasi guru, sosial dan politik yang berkaitan
dengan masa depan pendidikan.
B.
Kompetensi
Secara sederhana kompetensi berarti kewenangan atau kekuasaan untuk
memutuskan sesuatu hal.[15]
Kompetensi berasal dari bahasa inggris yaitu, competence yang berarti being
competent; ability atau kemampuan, kecakapan.[16] Suatu
jenis pekerjaan tertentu dapat dilakukan seseorang jika ia memiliki kemampuan. Istilah
ini sebenarnya memiliki banyak makna, seperti yang dikemukakan oleh Broke dan
Stone dalam Uzer Usman,[17] descriptive
of qualitative nature or teacher behavior appears to be entirely meaningful, kompetensi
merupakan gambaran hakikat kualitatif dari perilaku guru yang tampak sangat
berarti. Adapun kompetensi guru (teacher competency), the ability of a
teacher to responsibibly perform his or her duties appropriately, kompetensi
guru merupakan kemampuan seorang guru dalam melaksanakan kewajiban-kewajibannya
secara bertanggung jawab dan layak. Perbedaan pokok antara profesi ini dan
profesi lainnya adalah terletak pada tugas dan tanggung jawabnya yang berkaitan
erat dengan kemampuan yang disyaratkan untuk memangku profesi tersebut.
Kemampuan dasar tersebut adalah kompetensi guru.[18]
Dari gambaran pengertian ini, dapat disimpulkan bahwa kompetensi
guru multikulturalis adalah kemampuan dan kewenangan guru dalam melaksanakan
profesi keguruannya dengan menekankan pada kesederajatan dalam keragaman
diversitas kebudayaan dan latar belakang
peserta didik, lingkungan masyarakat, atau bahkan dunia secara
keseluruhan. Menurut Sinagatullin,[19] seorang
guru yang multikulturalis setidaknya harus memiliki tiga komponen kompetensi
yang meliputi, sikap (attitude), ilmu pengetahuan (knowledge),
dan keterampilan (skills).
Pertama, kompetensi sikap atau attitude. Kompetensi ini adalah bagian
dari keahlian yang mendasar dan sangat penting yang harus dimiliki guru yang
multikulturalis. Perwujudan dari sikap guru ini tercermin pada perasaan, cara
berfikir, menempatkan diri dalam pembelajaran dan berinteraksi kepada peserta
didik yang memiliki keragaman perbedaan. Sikap ini dapat menggambarkan tingkat
kualitas pemahaman dan kesiapan seorang guru dalam melaksanakan proses
pembelajaran yang produktif dan multikulturalis. Berkaitan dengan hal ini, seorang
guru harus memiliki beberapa sikap sebagaimana berikut:
a.
Bersikap
positif terhadap perbedaan. Seorang guru dituntut untuk memahami bahwa perbedaan
pada manusia dapat terjadi dimanapun dan kapanpun. Bahkan, eksistensi perbedaan
ini telah muncul sejak kelahiran umat manusia.
b.
Selalu berusaha
untuk memahami dan mengikuti serta mengaktualisasikan perubahan cara pandang
terhadap pendidikan.
c.
Berusaha secara
terus-menerus memperkaya dan memperdalam pemahaman tentang mutikulturalisme dan
kehidupan global dengan mengikuti program-program peningkatan kemampuan guru,
belajar tentang pengalaman-pengalaman dari guru-guru lain, atau berusaha
belajar mengkaji secara mandiri.
Kedua, kompetensi yang berbasis pengetahuan atau knowledge. Guru
yang berorientasi pada pendidikan multikultural dengan keragaman perbedaan pada
peserta didik memiliki kesulitan yang lebih besar jika dibandingkan dengan guru
yang hanya berorientasi pada standar kurikulum yang ada. Argumenatsi kebenaran
pernyataan ini adalah karena disamping tuntutan untuk menguasai masalah-masalah
pendidikan dan pengetahuan yang luas, mereka juga dituntut untuk menguasai pengetahuan
tentang pelaksanaan proses pembelajaran pada situasi keragaman perbedaan yang
menuntut perlakuan secara humanis, demokratis dan pluralis sehingga dapat
menyediakan kesempatan yang seimbang (kesederajatan) tanpa melihat
perbedaan-perbedaan yang ada. Untuk mewujudkan hal ini, guru yang
multikulturalis diharapkan memiliki dan memahami pengetahuan-pengetahuan
sebagaimana berikut.
a.
Etnisitas, wawasan
kebangsaan, dan nilai-nilai global yang berlaku. Guru harus memahami ragam
etnis dengan segala kebudayaan dan kebiasaan-kebiasaannya, kebudayaan
bangsa-bangsa, dan nilai-nilai luhur yang berlaku secara universal.
b.
Isu-isu seputar
fenomena perbedaan-perbedaan yang ada. Seorang guru harus mengetahui bahwa
perbedaan pada manusia yang meliputi perbedaan sosial, etnis, agama, bahasa,
umur dan sebagainya adalah proses alami dalam sejarah kehidupan manusia yang
akan terus berlangsung dan mengalami perubahan-perubahan.
c.
Gaya belajar
peserta didik. Seorang guru diharapkan dapat memahami pilihan-pilihan akademik
peserta didik yang mugkin disebabkan oleh berbagai faktor seperti: sosial,
budaya, agama, latar belakang geografis, orang tua, psikologi, biofisika dan
lingkungan.
d.
Tradisi-tradisi
yang berkembang dalam masyarakat yang dapat mempengaruhi gaya belajar peserta
didik, seperti cerita rakyat, lagu daerah, pepatah, peribahasa, permainan, dan
anekdot.
Gagasan yang
senada juga tercermin dari pandangan, bahwa guru harus menguasai dan memahami
semua hal yang berkaitan dengan kehidupan nasional dan global misalnya tentang
suku bangsa, adat istiadat, kebiasaan, norma-norma, kebutuhan, kondisi
lingkungan, dan sebagainya. [20]
Urgensi kompetensi pengetahuan ini bagi guru yang multikulturalis menjadi
penting mengingat seorang guru juga dituntut harus kompeten dalam menghargai
suku bangsa lain, agama yang dianut orang lain, sifat dan kebiasaan suku lain
yang mesti dicontohkannya pada peserta didik dalam pergaulan sehari-hari. Hal
ini sejalan dengan karakter yang harus dimilikinya sebagai moral steward atau
pemandu moral.
Ketiga, kompetensi keterampilan pedagogis. Keterampilan pedagogik merujuk pada
kemampuan guru untuk mengelola proses belajar mengajar, termasuk didalamnya
perencanaan dan pelaksanaan, evaluasi hasil belajar mengajar dan pengembangan
siswa sebagai individu-individu.[21]
Guru yang multikulturalis harus dapat memanfaatkan keragaman diversitas yang
dimiliki peserta didik untuk mengembangkan potensinya. Disamping itu, guru harus
terampil dan mampu mengembangkan sikap positif peserta didik untuk memahami
hal-hal seperti;
a.
Kearifan dan
budaya-budaya lokal serta nilai-nilai global.
b.
Mengajarkan
mereka untuk bersikap toleran terhadap budaya-budaya orang lain dan cara hidup
mereka.
c.
Mengembangkan
sikap postif terhadap perkembangan dan perubahan keragaman diversitas yang ada.
d.
Menunjukkan
sikap kasih sayang terhadap orang lain yang mengalami kondisi kesehatan dan
kehidupan yang berbeda.
e.
Mengembangkan
sikap kepedulian terhadap lawan jenis.
Lebih daripada itu, seorang guru yang multikulturalis juga harus
terampil dalam mengelola kelas yang multikultur, mengorganisasi pembelajaran, ikut
bertanggung jawab dalam memberikan gagasan-gagasan dalam memajukan ilmu pengetahuan,
terutama yang berkaitan dengan spesialisasinya, bersosialisasi dengan peserta
didik yang memiliki keragaman perbedaan, dan selalu berusaha untuk mempelajari
tentang etnografi.[22]
James A. Banks dan Cherry A. McGee Banks dalam Multicultural
Education,[23]
menjelaskan bahwa kompetensi keterampilan pedagogis yang harus dimiliki oleh
guru multikulturalis meliputi:
(1) creating a
nurturing classroom that honors and incorporates the cultural and linguistic
heritages of all student members, (2) making connections with students as
individuals and understanding how context influences their interactions with
others, (3) providing structured communal learning opportunities that enhance
and expand the more traditional individualistic and teacher-directed approaches
characteristic of mainstream schools, (4) developing learning skills through dynamic
teaching utilizing explicit, intensive, and systematic instructional
techniques, (5) utilizing peer-mediated and peer mentoring activities, (6)
monitoring at-risk students frequently while maintaining high expectations and
affirming learning for all students, and (7) providing English language and
bilingual support services as needed by children for whom English is a second
language or one of several languages that may be spoken by immigrant families.
Pendapat ini menjelaskan, bahwa seorang guru harus mampu; (1) memelihara
terciptanya kondisi kelas yang selalu menghargai warisan kebudayaan dan bahasa
setiap peserta didik, (2) melakukan hubungan interaksi dengan setiap peserta
didik selaku individu dan memahami dampak hubungan interaksi yang mereka lakukan
terhadap orang lain, (3) memberikan kesempatan untuk melakukan kegiatan
pembelajaran secara bersama-sama yang dapat mengeliminir tradisi pendekatan individualistis
dan pembelajaran yang berpusat pada guru yang merupakan karakteristik aliran
kebanyakan sekolah yang harus dirubah, (4) mengembangkan keterampilan belajar
dengan melakukan pembelajaran dinamis yang tegas, intensif, dengan tekhnik
intruksional yang sistematis, (5) melakukan pembelajaran dengan pemanfaatan
media pembelajaran dan aktivitas saling menasehati, (6) melakukan pengawasan
terhadap peserta didik yang sering menimbulkan resiko sambil memanfaatkan kemauan
belajar mereka yang tinggi dan mempertegas pembelajaran pada semua peserta
didik, dan (7) menyiapkan bahasa Inggris sebagai bahasa internasional dan
dukungan layanan dua bahasa bagi peserta didik yang menjadikan bahasa Inggris
sebagai bahasa kedua atau salah satu dari beberapa bahasa yang kemungkinan
digunakan oleh keluarga imigran.
Merebaknya tuntutan dan gagasan tentang pendidikan multikultural
harus diakui berkaitan erat dengan semakin berkembangnya kesadaran masyarakat
luas akan eksistensi keragaman diversitas yang rawan akan konflik. Tanpa guru
dengan kompetensi multikulturalis, maka sulit diwujudkan tatanan pranata sosial
(sekolah) yang dapat mewujudkan nilai-nilai multikularisme tersebut.
IV. Kesimpulan
Guru yang multikulturalis adalah seorang tenaga pendidik yang dapat
membimbing dan mengembangkan potensi peserta didik dengan menekankan pada
kesederajatan dalam keragaman diversitas budaya dan latar belakang pada diri
mereka, lingkungan masyarakat, atau bahkan dunia secara keseluruhan. Untuk itu,
guru dituntut harus mampu merealisasikan tujuan akhir dari pendidikan
multikultural yaitu menjadikan peserta didik mempunyai karakter yang kuat untuk
selalu bersikap demokratis, pluralis dan humanis.
karakteristik
yang harus dimiliki guru yang multikulturalis adalah moral steward atau
pemandu moral, constructor atau pembangun, philoshoper atau ahli
filsafat, fasilitator yang menciptakan kondisi aman, the inquirer
atau pencari tahu sejati, bridger atau menjadi jembatan, dan the
change maker atau pembuat perubahan. Sedangkan kompetensi yang harus
dimiliki oleh guru yang multikulturalis meliputi tiga komponen mendasar yaiitu,
sikap (attitude), ilmu pengetahuan (knowledge), dan keterampilan
(skills).
DAFTAR PUSTAKA
Banks,
James A. and Cherry A. McGee Banks. Eds. Multicultural Education: Issues and
Perspectives. 7th ed. Seattle and Bothel: Jhon Wiley & Sons
Inc., 2010.
Departemen
Kebudayaan dan Pariwisata. Pendidikan Multikultural dan Revitalisasi Hukum
Adat dalam Perspektif Sejarah. Jakarta: Kementerian Kebudayaan dan
Pariwisata Deputi Bidang Sejarah dan Purbakala, 2005.
Fathurrohman,
Pupuh dan M. Sobry Sutikno. Strategi Belajar Mengajar: Melalui Penanaman
Konsep Umum & Konsep Islami. Bandung: Refika Aditama, 2010.
Getteng,
Abd. Rahman. Menuju Guru Profesional dan Ber-Etika. Cet. 3. Yogyakarta:
Grha Guru, 2011.
Hamalik,
Oemar. Pendidikan Guru Berdasarkan Pendekatan Kompetensi. Jakarta: PT.
Bumi Aksara, 2003.
Hornby,
AS, AP Cowie, and AC Gimson. Oxford Advanced Learner’s Dictionary Of Current
English. Oxford: Oxford University Press, 1987.
Khalifah,
Mahmud dan Usamah Quthub. Menjadi Guru Yang Dirindu. Surakarta: Ziyad
Visi Media, 2009.
Mulyasa,
E. Menjadi Guru Profesional: Menciptakan Pembelajaran Kreatif dan
Menyenangkan. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2005.
Parekh,
Bhikhu. Rethinking Multiculturalism: Keberagaman Budaya dan Teori Politik. Terjemahan
C.B. Bambang Kukuh Adi. Cet. V. Yogyakarta: Kanisius 2012.
Sinagatullin,
Ilghiz M. Constructing Multicultural Education In a Diverse Society.
Lanham, Maryland, and London: A Scareerow Education Book, 2003.
Sumiati
dan Asra. Metode Pembelajaran. Bandung: Wacana Prima, 2009.
Suwito,.
Sejarah Sosial Pendidikan Islam. Jakarta: Kencana, 2005.
Suyono,
dan Hariyanto. Belajar dan Pembelajaran: Teori dan Konsep Dasar.
Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2011.
Tim
Pengembang Ilmu Pendidikan FIP-UPI. Ilmu dan Aplikasi Pendidikan: Pendidikan
Lintas Bidang. Bagian IV. Bandung: PT. Imtima, 2009.
Tim
Redaksi Bahasa Indonesia. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Pusat
Bahasa, 2008.
Uno,
Hamzah B. Model Pembelajaran: Menciptakan Proses Belajar Mengajar yang
Kreatif dan Efektif. Cet. 2. Jakarta: Bumi Aksara, 2008.
Usman,
Moh. Uzer. Menjadi Guru Profesional. Edisi II. Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya, 2002.
Yakin,
M. Ainul. Pendidikan Multikultural: Cross-Cultural Understanding untuk
Demokrasi dan Keadilan. Yogyakarta: Pilar Media, 2005.
Zuriah,
Nurul. Pendidikan Moral dan Budi Pekerti dalam Perspektif Perubahan:
Menggagas Platform Pendidikan Budi Pekerti Secara Kontekstual dan Futuristik. Jakarta:
Bumi Aksara, 2011.
[1] Tim
Pengembang Ilmu Pendidikan FIP-UPI, Ilmu dan Aplikasi Pendidikan: Pendidikan
Lintas Bidang, (Bandung: PT. Imtima, 2009), 43.
[2] SARA adalah
singkatan dari suku, agama, ras, dan antar golongan.
[3] Nurul Zuriah, Pendidikan
Moral dan Budi Pekerti dalam Perspektif Perubahan: Menggagas Platform
Pendidikan Budi Pekerti Secara Kontekstual dan Futuristik (Jakarta: Bumi
Aksara, 2011), 109.
[4] Bhikhu Parekh,
Rethinking Multiculturalism: Keberagaman Budaya dan Teori Politik (Yogyakarta:
Kanisius 2012), 302.
[5] Departemen
Kebudayaan dan Pariwisata, Pendidikan Multikultural dan Revitalisasi Hukum
Adat dalam Perspektif Sejarah (Jakarta: Kementerian Kebudayaan dan
Pariwisata Deputi Bidang Sejarah dan Purbakala, 2005), 104.
[6] Tim Redaksi
Bahasa Indonesia, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Pusat Bahasa,
2008), 497.
[7]
Pupuh Fathurrohman, dan M. Sobry Sutikno, Strategi Belajar Mengajar: Melalui
Penanaman Konsep Umum & Konsep Islami (Bandung: Refika Aditama, 2010),
43.
[8] Tim Redaksi
Bahasa Indonesia, Kamus Besar, 980.
[9] Suwito, Sejarah
Sosial Pendidikan Islam (Jakarta: Kencana, 2005), 25.
[10] M. Ainul
Yakin, Pendidikan Multikultural: Cross-Cultural Understanding untuk
Demokrasi dan Keadilan (Yogyakarta: Pilar Media, 2005), 5.
[11] E. Mulyasa, Menjadi
Guru Profesional: Menciptakan Pembelajaran Kreatif dan Menyenangkan
(Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2005), 37.
[12] Mahmud
Khalifah dan Usamah Quthub, Menjadi Guru Yang Dirindu (Surakarta: Ziyad
Visi Media, 2009), 13.
[13] Abd. Rahman
Getteng, Menuju Guru Profesional dan Ber-Etika (Yogyakarta: Grha Guru,
2011), 33.
[14] Suyono dan
Hariyanto, Belajar dan Pembelajaran: Teori dan Konsep Dasar (Bandung:
PT. Remaja Rosdakarya, 2011), 206.
[15] Tim Redaksi
Bahasa Indonesia, Kamus Besar, 743.
[16] AS Hornby, AP
Cowie, and AC Gimson, Oxford Advanced Learner’s Dictionary Of Current
English (Oxford: Oxford University Press, 1987), 172.
[17] Moh. Uzer
Usman, Menjadi Guru Profesional (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2002),
[18] Hamzah B. Uno,
Model Pembelajaran: Menciptakan Proses Belajar Mengajar yang Kreatif dan
Efektif (Jakarta: Bumi Aksara, 2008), 79.
[19] Ilghiz M.
Sinagatullin, Constructing Multicultural Education In a Diverse Society
(Lanham, Maryland, and London: A Scareerow Education Book, 2003), 185.
[20] Oemar Hamalik,
Pendidikan Guru Berdasarkan Pendekatan Kompetensi (Jakarta: PT. Bumi
Aksara, 2003), 41.
[21]
Sumiati dan Asra, Metode Pembelajaran (Bandung: Wacana Prima, 2009),
242.
[22] Etnografi
adalah uraian ilmiah mengenai ras-ras manusia, lihat Kamus Besar, 743.
[23] James A. Banks
and Cherry A. McGee Banks. Eds. Multicultural Education: Issues and
Perspectives (Seattle and Bothel: Jhon Wiley & Sons Inc., 2010), 353.