AL-MU’TAZILAH:
SEJARAH TIMBUL,
WASHIL BIN ‘ATHA’ DAN
AJARAN-AJARANNYA
SERTA AL-USHUL AL-KHAMSAH
Arman B
I.
Pendahuluan
Dalam khazanah
pemikiran Islam, sejarah telah mencatat bahwa terdapat lebih dari satu aliran
teologi yang berkembang. Aliran-aliran tersebut ada yang bersifat rasional,
tradisonal dan ada yang mengambil jalan tengah sebagai moderat.
Kondisi demikian membawa hikmah bagi sebagian umat Islam. Bagi mereka yang
berpikiran rasional tentu akan mengambil argumentasi pemikiran dan
pemahaman berdasarkan teologi yang beraliran rasional tersebut,
sementara bagi mereka yang berpikiran tradisional atau moderat,
cenderung akan menyesuaikan diri dengan aliran-aliran yang cocok dengan
pikirannya.
Salah satu
pokok persoalan yang menjadi bahan perbincangan para teolog adalah tentang
ketergantungan manusia terhadap Tuhan dalam hal menentukan perjalanan hidupnya.
Adakah manusia dalam segala aktifitas-nya terikat pada kehendak dan kekuasaan
mutlak Tuhan, atau Tuhan telah berkenan memberi kemerdekaan kepada manusia
dalam mewujudkan perbuatan-perbuatannya serta mengatur perjalanan hidupnya.
Secara umum, aliran Mu’tazilah dapat dikatakan termasuk
dalam golongan yang beraliran rasional, mereka cenderung mengutamakan
kemampuan rasio yang dianugerahkan Tuhan kepada manusia. Begitu tinggi kekuatan
yang mereka berikan pada akal, sehingga sebagian kalangan umat islam menilai bahwa
mereka lebih mengedepankan rasio daripada wahyu.
Penganut aliran ini cenderung menginterpretasikan ayat-ayat al-Qur'an secara
lebih bebas dibanding kebanyakan umat muslim, sehingga ajaran
Mu'tazilah kurang diterima oleh kebanyakan ulama Sunni. Bahkan, tidak sedikit
orang islam yang menganggap golongan ini sudah tersesat dari jalan yang lurus.
Pada
perkembangannya, ajaran-ajaran Mu’tazilah semakin banyak dikaji karena menurut
sebagian kalangan, pemahaman ini memiliki andil besar dalam perkembangan
pemikiran islam. Lalu, bagaimana sejarah kemunculan aliran pemahaman ini? Apa
saja ajaran-ajaran yang diusungnya?. Tulisan ini secara umum akan membicarakan pemikiran
al-Mu’tazilah, sejarah kemunculan, perkembangan, dan Washil bin ‘Atha’ serta al-ushul
al-khamsah sebagai prinsip ajarannya.
II.
Al-Mu’tazilah
dan Ajaran-ajarannya
Sejarah
merupakan bagian penting dari perjalanan sebuah umat, bangsa, negara, maupun
individu. Keberadaan sejarah merupakan bagian dari proses kehidupan itu
sendiri. Melalui sejarah, manusia dapat mengambil banyak pelajaran dari proses
kehidupan suatu umat, bangsa atau individu.[1]
Sebelum menelusuri lebih jauh tentang perkembangan pemikiran al-Mu’tzailah,
perlu memahami sejarah munculnya aliran ini.
A.
Sejarah
Munculnya Aliran Al-Mu’tazilah
Secara
sederhana, al-Mu’tazilah dikenal sebagai aliran yang mendasarkan ajaran Islam kepada
al-Qur’an dan pikiran, serta sangat kritis terhadap hadits dan cara penafsiran al-Qur’an.[2]
Aliran ini muncul pertama kali di kota Bashrah (Irak) pada abad ke-2 Hijriyah,
antara tahun 101-125 H, tepatnya di masa pemerintahan khalifah Hisya>m ibn ‘Abd al-Mali>k
dari Bani Umayyah.[3]
Pada masa-masa awal kemunculannya, aliran ini tidak memperoleh dukungan dan
simpati dari umat islam. Hal ini disebabkan karena sulitnya memahami
ajaran-ajaran mereka yang rasionalis dan filosofis. Disamping itu, aliran ini
dinilai tidak berpegang teguh pada sunnah Rasulullah dan para sahabat.
Sejarah
kemunculan aliran al-Mu’tazilah dapat dikatakan berawal dari reaksi atas
paham-paham teologi yang dikemukakan oleh golongan Khawarij dan Murji’ah[4]
mengenai kedudukan seorang mu’min yang berdosa besar.[5]
Menurut mereka, kata “mukmin” mengandung pujian, sehingga pembuat dosa
besar bukanlah orang yang terpuji. Tetapi sebaliknya, pembuat dosa besar
bukanlah kafir karena masih mengakui dua kalimat syahadat. Karena pembuat dosa
besar tidaklah kafir dan tidak juga mukmin, ia mempunyai posisi diantara
keduanya (al-manzilah bayna manzilatayn) dan boleh diberi predikat
sebagai seorang muslim.[6] Menurut
Fazlur Rahman,[7]
Doktrin “posisi tengah” dari pelaku dosa besar inilah yang memberikan nama
tekhnis Mu’tazilah, atau kaum netralis kepada gerakan baru tersebut, dan yang
membedakannya dengan kaum netralis politik yang lama.
Menurut
tradisi sunni yang umumnya diterima, asal mula golongan ini memperoleh nama
Mu’tazilah berawal ketika suatu hari, pada saat diskusi seseorang datang
menghadap pada Hasan Al-Bashri seraya berkata padanya,
“Wahai
Imam! Sekarang ini ada beberapa orang yang mengatakan bahwa pelaku dosa besar
adalah kafir, bagi mereka, pelaku dosa besar adalah murtad yang dengannya ia
dikeluarkan dari masyarakat islam. Kelompok ini adalah Wa’idiyyah, sub-golongan
Khawarij. Pada sisi lain, ada kelompok lain yang menangguhkan hukuman atas
pelaku dosa besar. Bagi mereka, dosa tidak berpengaruh buruk kepada seseorang
selagi ia memiliki iman. Mereka berpegang bahwa perbuatan-perbuatan tidak
membentuk suatu bagian iman yang integral. Karenanya, dosa tidak berpengaruh
buruk pada seseorang yang memiliki iman, sama halnya ketaatan tidak berfaedah
kepada seseorang apabila tanpa iman. Ini adalah golongan Murji’ah. Menurutmu,
mana yang harus kita yakini?”[8]
Ketika
Hasan Al-Bashri[9]
masih memikirkan jawaban atas pertanyaan orang tersebut, salah seorang peserta
diskusi dalam majelis itu yaitu, Washil bin ‘Atha’ mengeluarkan pendapat
sendiri yang mendahului gurunya.[10]
Ia berpendapat bahwa orang yang demikian berada antara dua posisi, bukan
seorang yang beriman dan bukan pula seorang kafir. Setelah itu, ia kemudian
berdiri dan pindah kedekat sebuah tiang mesjid yang lain, tempat ia mulai
menjelaskan kepada sebuah kelompok lain pengikut Hasan Al-Bashri maksud dari
apa yang ia katakana. Hasan kemudian kemudian berujar pada kelompok yang masih
setia padanya, “Washil telah memisahkan diri (i’tazala)[11] dari
kita.” Sejak saat itu, pengikut Washil dikenal sebagai Mu’tazilah (golongan
yang memisahkan diri).[12]
Menurut
teori lain, Mu’tazilah bukan berasal dari ucapan Hasan Al-Bashri, tetapi dari
kata i’tazala yang dinisbahkan kepada orang-orang yang mengasingkan diri
dari pertikaian politik yang terjadi pada zaman ‘Utsman bin Affan dan ‘Ali bin
Abi Thalib. Menurut beberapa penulis sejarah, kata i’tazala dan
Mu’tazilah memang telah dipakai pada zaman itu untuk golongan yang tidak mau
turut campur dalam pertikaian politik, mengasingkan diri dan memusatkan
perhatian pada ibadah dan ilmu pengetahuan. Dan diantara orang-orang demikian
terdapat cucu Nabi Muhammad, Abu Husain. Washil sendiri mempunyai hubungan yang
erat dengan Abu Husain.[13]
Dengan
demikian, dapat dikatakan bahwa kata i’tazala dan Mu’tazilah sebenarnya
telah dikenal jauh sebelum kronologis terjadinya ketidaksepahaman Hasan
Al-Bashri dan Washil bin ‘Atha’ dalam masalah posisi pendosa besar. Namun, kata
i’tazala dan istilah Mu’tazilah yang dipakai untuk menisbatkan pengikut
Washil, baru mulai menjadi populer dan
dikenal lebih luas pasca kejadian ketidaksepahaman guru dan murid tersebut yang
melahirkan pemahaman baru.
B.
Perkembangan
Aliran Al-Mu’tazilah
Pada
masa perkembangannya, berdasarkan wilayah pertumbuhan dan pergerakannya, aliran
al-Mu’tazilah terbagi menjadi dua, yaitu:
Pertama, di Bashrah. Pada permulaan abad ke-2 H,
dipimpin oleh Washil bin ‘Atha’ dan Amr bin ‘Ubaid, lalu diperkuat oleh murid-muridnya
seperti, Utsman al-Thawi>l, Hafsh bin Salim, Hasan bin Sakwa>n, Kha>lik
bin Sofwa>n, dan Ibrahi>m bin Yahya al-Mada>ni>. Sedangkan pada
permulaan abad ke-3 H, al-Mu’tazilah yang berkembang di Bashrah dipimpin oleh
Abu Hudzail al-Alla>f (w. 235 H), Ibrahim bin Saya>r an-Nazha>m, Abu
Basyar al-Mari>si>, Utsman al-Jahiz, Ibnu al-Mu’ammar, dan Abu Ali
aluba’i.
Kedua, di Baghdad. Dipimpin oleh Basyar bin
al-Mu’tamar dibantu oleh Abu Musa> al-Murda>n, Ahmad bin Abi Dawud,
Ja’far bin Mubasysyar, dan Ja’far bin Ha>rib al-Hamda>ni>.[14]
Seiring
dengan berjalannya waktu, aliran ini semakin menyebar dan memperoleh dukungan
yang semakin luas terutama pada masa pemerintahan Khalifah al-Makmun, penguasa
Abbasiyah (198-218 H/813-833 M). Bahkan kedudukan mereka semakin kokoh setelah
al-Makmun menjadikannya sebagai mazhab resmi negara. Hal ini disebabkan karena
al-Makmun sejak kecilnya telah dididik dalam tradisi Yunani yang gemar akan
ilmu pengetahuan dan filsafat.[15]
Seiring dengan semakin kuatnya posisi ini, mereka mulai memaksakan
ajaran-ajaran teologinya yang berpuncak pada peristiwa mihnah,[16]
yakni pemeriksaan paham pribadi (inquisition), dan menyiksa serta
menjebloskan banyak orang yang tidak sependapat dengan kebijakan ini, termasuk
Ahmad bin Hambal kedalam penjara.[17]
Peristiwa
ini justru menjadikan banyak kalangan antipati terhadap Mu’tazilah dan akhirnya
mulai ditinggalkan sehingga tidak memiliki kekuatan lagi. Keadaan ini semakin
bertambah buruk pada pemerintahan al-Mutawakkil yang membatalkan pemakaian mazhab
al-Mu’tazilah dan menggantinya dengan aliran Asy’ariyyah. Dari akhir abad ke-11
hingga awal abad ke-20,[18]
ajaran al-Mu’tazilah seakan tersisih dari panggung sejarah selama berabad-abad,
tergeser oleh paham Ahlu al-Sunnah wa al-Jama>’ah karena
buku-buku mereka tidak dibaca lagi di perguruan-perguruan islam. Namun, diawal
abad ke-20 berbagai karya al-Mu’tazilah ditemukan kembali dan dipelajari
diperguruan-perguruan Islam, seperti Universitas al-Azhar. Dengan demikian, pandangan terhadap aliran ini
menjadi lebih jernih dan segi-segi positif dan sumbangsihnya terhadap
kepentingan Islam semakin diketahui.[19]
C.
Washil
bin ‘Atha’ dan Ajaran-ajarannya
Washil bin
‘Atha’ hidup pada paruh pertama abad ke-8 M. Ia lahir di kota Madinah
pada tahun 80 H/699 M, dan wafat pada tahun 131 H/749 M, di Bashrah (Irak). Ia
merupakan tokoh terkenal yang mendirikan mazhab rasionalisme kondang yang
disebut al-Mu’tazilah pada masa Dinasti Bani Umayyah.[20] Nama
aslinya adalah Abu>
Huzaifah Wa>shil ibn ‘Atha’ al-Ghazza>l. Ia begitu dihargai dikalangan
al-Mu’tazilah karena pengetahuan dan tabiatnya. Washil pernah menjadi murid
Hasan Al-Bashri saat ia belajar sejarah dan berbagai cabang ilmu selama
pemerintahan ‘Abd Al-Mali>k ibn Marwa>n dan Hisya>m ibn ‘Abd Al-Mali>k.[21]
Sebagaimana dikatakan diatas bahwa Washil
merupakan pendiri dan pemuka dari aliran al-Mu’tazilah, pengikut ajaran-ajaran
yang dibawanya dikenal dengan sebutan Washiliyyah. Sub-golongan Mu’tazilah ini
pada prinsipnya memiliki empat doktrin dasar sebagai berikut:
Pertama, posisi diantara dua posisi bagi para pembuat
dosa besar(al-manzilah bayn al-manzilatayn). Asal doktrin ini adalah
bermula pada ketidaksepahaman Washil ibn ‘Atha’ dengan Hasan Al-Bashri dalam
permasalahan posisi pelaku dosa besar (sebagaimana telah dijelaskan
sebelumnya).
Kedua, kepercayaan kepada Qadar. Menurut
Washil, Tuhan itu bijaksana dan adil, sehingga keburukan dan ketidakadilan
tidak bisa dinisbahkan kepada-Nya. Tuhan tidak bisa berkehendak kepada
makhluk-Nya atas sesuatu yang bertentangan dengan apa yang Dia perintahkan
kepada mereka. Dia tidak bisa menetapkan apa yang mereka kerjakan dan kemudian
menghukumnya lantaran mereka tidak melakukan perintah itu. Oleh karena itu,
manusia adalah pencipta kebaikan dan keburukan, keimanan dan kekufuran,
kepatuhan dan pengingkaran, dan dialah yang bertanggung jawab atas perbuatan-perbuatannya.[22]
Paham ini dalam bahasa inggris dikenal dengan
istilah, free will and free act (kebebasan berkehendak dan bertindak).
Dalam paham ini, Tuhan menghendaki agar manusia sendirilah yang melakukan
perbuatan dalam arti kehendak dan daya dalam mewujudkan perbuatan. Dan dalam
mewujudkan hal tersebut haruslah atas kehendak dan daya manusia itu sendiri,
bukan Tuhan. Dan apabila manusia berbuat jahat, maka itu berarti atas kehendak
dan dayanya sendiri sehingga paham kemahadilan Tuhan dapat dipertahankan untuk
menghukumnya dalam neraka. Tetapi, sekiranya manusia berbuat jahat bukan atas
kehendak dan daya upayanya sendiri, melainkan atas kehendak dan daya yang
bersumber dari luar dirinya, maka sungguh tidak adillah Tuhan kalau menghukum
pembuat kejahatan itu dalam neraka.[23]
Ketiga, peniadaan sifat-sifat Tuhan, seperti
mengetahui, berkuasa, berkehendak dan hidup. Telah disepakati secara universal
bahwa eksistensi dua Tuhan yang kadim adalah sebuah hal yang mustahil.
Jadi, menyatakan eksistensi sebuah entitas yang kadim atau sifat yang kadim
pada Tuhan, akan berarti bahwa ada dua Tuhan.[24]
Washil menolak adanya sifat Tuhan dalam pengertian sesuatu yang melekat pada
zat Tuhan. Ini tidak berarti bahwa ia menolak ayat-ayat yang menggambarkan
sifat-sifat Tuhan seperti al-Rahma>n, al-Rahi>m, al-Qadi>r, dan
sebagainya sebagimana yang dipahami aliran teologi islam lain. Ia menerima
kebenaran ayat-ayat itu sama dengan kebenaran ayat-ayat lain, hanya saja
penafsirannyalah yang berbeda tentang ayat-ayat tersebut.[25]
Menurutnya, Kalau Tuhan dikatakan
memiliki sifat Maha Mengetahui, baginya yang mengetahui itu adalah
zat-Nya, bukan sifat-Nya.[26]
Keempat, pandangan mengenai kelompok-kelompok yang
beroposisi dalam Perang Jama>l dan Perang Shiffi>n. menurut
Washil, salah satu dari kelompok ini berada pada posisi yang salah, tetapi ia
tidak merinci kelompok mana yang salah. Dia juga berpandangan sama terhadap kasus
Utsman, mengenai siapa yang bertanggung jawab atas kematiannya dan mengenai
mereka yang mengkhianatinya. Menurutnya, salah satu dari kelompok ini pasti
berdosa. Sama halnya dengan dua kelompok yang saling menghujat satu sama lain,
maka yang satu pasti berdosa. Mengenai status kelompok yang berseteru tersebut,
ia berpandangan bahwa kesaksian mereka tidak dapat diterima. Konsekuensinya,
kesaksian ‘Ali, Thalhah dan Zubair, sekalipun dalam hal-hal yang signifikan,
adalah sesuatu yang tidak dapat diterima. Boleh jadi bahwa ‘Utsman dan ‘Ali
keduanya bersalah.
D.
Al-Ushul
Al-Khamsah
Ciri khas paling khusus dari Mu’tazilah ialah bahwa mereka meyakini
sepenuhnya kemampuan akal. Prinsip ini mereka gunakan dalam memberikan fatwa
hukum terhadap berbagai hal.[27]
Hal ini disebabkan bahwa mereka sangat giat dalam mempelajari filsafat Yunani
untuk mempertahankan pendapat-pendapatnya, terutama filsafat Plato dan
Aristoteles. Ilmu logika sangat menarik perhatian mereka karena menjunjung
tinggi cara berfikir logis. Sebagian kalangan bahkan menilai bahwa Mu’tazilah
lebih mengutamakan akal pikiran, dan sesudah itu baru al-Qur’an dan Hadits atau
yang dikenal dengan taqdi>m al-‘aql ‘ala> al-nash. Hal ini berbeda dengan
golongan Ahlusunnah wa al-Jama>’ah yang cenderung mendahulukan al-Qur’an dan
Hadits baru kemudian akal pikiran, taqdi>m al-nash ‘ala>
al-‘aql.[28]
Dalam
penjelasan sebelumnya, telah disebutkan bahwa karena ketidaksepahaman Washil
bin ‘Atha’ dengan Hasan al-Bashri, maka pengikut Washil disebut dengan
al-Mu’tazilah (orang yang mengasingkan diri). Namun, ia sendiri dan para
pengikutnya lebih senang menamakan diri mereka sebagai ahl al-‘adl wa
al-tauhi>d (kaum pendukung keadilan dan keesaan).[29]
Dari pendirian ini, tokoh-tokoh penganut aliran al-Mu’tazilah bersepakat pada
lima ajaran resmi yang harus diyakini tiap pengikut aliran ini.[30]
Bahkan al-Khayya>th yang merupakan tokoh al-Mu’tazilah abad k-3 H, seperti
yang dikutip Nasir, [31]
menegaskan:
وَلَيْسَ يَسْتَحِقُّ أَحَدٌ مِنْهُمْ إِسْمَ اْلإِعْتِزَالِ
حَتَّي يَجْمَعَ اْلقَوْلَ بِاْلأُصُوْلِ اْلخَمْسَةِ : اَلتَّوْحِيْدُ وَاْلعَدْلُ
وَاْلوَعِيْدُ وَالَمَنْزِلَةُ بَيْنَ اْلمَنْزِلَتَيْنِ وَاْلأَمْرُ بِالْمَعْرُوْفِ
وَالنَّهْيُ عَنِ اْلمُنْكَرِ. فَإِذَا كَمُلَتْ فِيْهِ هذِهِ اْلخِصْلَةُ فَهُوَ
مُعْتَزِلِيٌّ.
Artinya :
“seseorang tidak berhak dinamakan Mu’tazilah, sehingga bersatu
padanya lima pokok ajaran. Yaitu, tauhid, keadilan, janji dan ancaman, tempat
diantara dua tempat dan amar ma’ruf nahi munkar. Apabila padanya telah sempurna
kelima ajaran ini, dinamakan Mu’tazilah”.
Kelima ajaran ini adalah ajaran-ajaran yang
disepakati oleh seluruh pengikut paham ini. Walaupun demikian, dalam memberikan
penjelasan-penjelasan mengenai ajaran-ajaran dasar tersebut, mestilah terjadi
perbedaan diantara tokoh-tokohnya. Hal ini menjadi wajar, mengingat
al-Mu’tazilah memberikan peranan yang sangat besar pada akal manusia, sementara
setiap akal mesti memiliki telaah dan cara pandang yang berbeda dalam memaknai
sebuah permasalahan. Doktrin al-Mu’tazilah dalam bentuk lima ajaran dasar yang
populer ini dikenal dengan istilah al-ushu>l al-khamsah.
Pertama,
Al-Tawhi>d, yaitu kemahaesaan Tuhan. Menurut mereka,
Paham-paham yang membuat Tuhan tidak unik lagi seperti adanya sifat, atau
adanya yang kadim selain Tuhan dan sebagainya, mereka tolak dengan kuat.[32]
Golongan al-Mu’tazilah menganggap bahwa konsep tauhid mereka adalah yang paling
murni, sehingga mereka lebih senang disebut sebagai Ahl al-Tauh}i>d
(pembela tauhid). Dalam mempertahankan paham keesaan Allah SWT, mereka
menafikkan segala sifat bagi Tuhan, sehingga mereka sering juga disebut sebagai
golongan Nafy al-Sifa>t.[33]
Dalam
ajaran ini, mereka benar-benar menyucikan Allah SWT dari materi dan segala aksidensianya,
karena Allah SWT bukanlhah jism juga bukan bayangan, bukan bagian juga
bukan keseluruhan, tidak dibatasi oleh ruang dan waktu.[34]
Selanjutnya, konsep ini membawa pada paham penolakan terhadap antropomorfisme.[35] Bagi mereka,
Tuhan tidak boleh dipersamakan dengan makhluk-Nya seperti mempunyai muka atau
tangan. Karena itu, ayat-ayat yang menggambarkan Tuhan mempunyai bentuk fisik (ayat-ayat
taja>sum), haruslah ditakwilkan secara rasional sedemikan rupa. Mereka
memerangi pemikiran al-Tasybi>h dan al-Tajsi>m yang gemanya
menyusup kedalam Islam dari agama lain.
Penulis
cenderung tidak sepakat dengan ajaran ini, karena pada prinsipnya bahwa
sifat-sifat itu bukanlah sesuatu yang terpisah dari yang disifati, sehingga
ketika sifat-sifat tersebut ditetapkan maka ini tidaklah menunjukkan bahwa yang
disifati itu lebih dari satu, bahkan ia termasuk dari sekian sifat yang
dimiliki oleh dzat yang disifati tersebut. Menetapkan sifat-sifat Allah tidaklah termasuk
meniadakan kesucian Allah, tidak pula menyelisihi tauhid, atau menyamakan Allah
dengan makhluk-Nya. Pada prinsipnya, ini termasuk konsekuensi dari tauhid al-asma>
wa al-shifa>t sebagaimana disebutkan dalam al-Qur’an. Justru
dengan meniadakan sifat ini, berarti telah mengakui adanya dua entitas, karena
sebelum meniadakan sifat-sifat Allah tersebut, mereka terlebih dahulu
menyamakan sifat-sifat Allah dengan sifat makhluk-Nya. Lebih dari itu, ketika
mereka meniadakan sifat-sifat Allah yang sempurna itu, sungguh mereka
menyamakan Allah dengan sesuatu yang penuh kekurangan dan tidak ada wujudnya.
Kedua,
Al-‘Adl, yaitu paham keadilan Tuhan. Paham ini
meletakkan tanggung jawab manusia atas perbuatan-perbuatannya.[36]
Kalau al-Tawh}i>d mengandung keunikan Tuhan dalam zat, paham keadilan
Tuhan ini mengandung keunikan Tuhan dalam perbuatannya. Hanya Tuhanlah yang
berbuat adil, maka segala kehendak dan perbuatan Tuhan tidak bisa bertentangan
dengan paham keadilan. Paham keadilan inilah yang menjadi titik tolak dari
pemikiran rasional al-Mu’tazilah mengenai pendapat-pendapat keagamaan mereka.[37]
Menurut
al-Mu’tazilah, Tuhan adalah sosok yang amat bijaksana sehingga Ia mesti mempunyai tujuan kebajikan dalam
menciptakan manusia. Pendek kata, karena Tuhan bijaksana, maka Ia wajib
hukumnya berbuat kebajikan pada manusia, karena akal sehat mengasumsikan
demikian.[38] Lebih lanjut menurut
mereka, bahwa Tuhan tidak bisa melakukan hal-hal yang tak masuk akal dan tak
adil.[39]
Bahkan, manusia diciptakan mandiri yang mampu bertindak secara bebas dan
independen dari semua campur tangan Ilahi.[40]
Karena independensi manusia dalam bertindak itulah, maka paham keadilan
menuntut manusia mempertanggung jawabkan akibat dari perbuatannya.
Ketiga,
Al-Wa’d wa al-Wa’i>d, yaitu paham
mengenai janji dan ancaman. Paham ini mengandung pemahaman bahwa Tuhan tidak
akan adil kalau Dia tidak memberi pahala pada orang yang berbuat baik, dan
kalau Dia tidak menghukum orang yang berbuat jahat. Sementara, Allah SWT telah
menegaskan bahwa ia tidak akan mengingkari janji-Nya. Hal ini termaktub dalam
QS. Ali ‘Imra>n ayat 9,
إِنَّ اللهَ لاَ يُخْلِفُ الِمْيَعَادَ
Artinya:
“Sungguh, Allah tidak akan menyalahi janji-Nya.
(QS. Ali ‘Imra>n:
9)[41]
Menurut
al-Mu’tazilah, seorang Mukmin apabila meninggal dalam keadaan taubat dan taat,
maka dia berhak mendapatkan pahala. Tetapi, apabila ia meninggal sebelum
terlebih dahulu melakukan taubat dari dosa besar yang pernah diperbuatnya, maka
ia akan ditempatkan dalam neraka selama-lamanya, akan tetapi siksaan yang
didapatkannya lebih ringan daripada siksaan yang diberikan oleh kaum kafir.
Inilah yang mereka sebut dengan janji dan ancaman.[42]
Keempat,
Al-Manzilah bayn al-Manzilatain, yaitu
posisi menengah bagi pembuat dosa besar. Tidak posisi mukmin, tidak pula
posisi kafir, tetapi posisi Muslim yang terletak diantara keduanya. Tidak
posisi surga, tidak pula posisi berat di neraka, tetapi posisi siksa ringan
yang terletak diantara keduanya.[43]
Kelima,
Al-Amr bi al-Ma’ruf wa al-Nahy ‘an al-Munkar, yaitu perintah untuk berbuat baik dan larangan untuk berbuat
jahat. Ajaran dasar ini sangat erat hubungannya dengan pembinaan moral. Ajaran ini
menekankan bahwa iman tidaklah cukup hanya dihati, tetapi merupakan pengakuan
yang harus diikuti oleh perbuatan-perbuatan baik.[44]
Menurut mereka, kepatuhan merupakan suatu tiang dari esensi nyata iman
sedemikian rupa sehingga siapapun yang mengabaikannya, maka dia bukan seorang
yang percaya.[45] Orang yang masuk surga
adalah orang yang imannya tercermin dalam perbuatan-perbuatan dan kelakuan
baik. Maka untuk membina moral umat, mereka menganggap bahwa al-amr bi
al-ma’ruf wa al-nahy al-munkar, sebagai suatu bentuk kontrol sosial,
harus dijalankan. Kalau dapat, cukup dengan seruan, tetapi kalau terpaksa boleh
dengan kekerasan.
Prinsip
dari ajaran ini mengarahkan seseorang untuk tidak menaati atau mungkin
memberontak pada pemimpin yang keimanannya tidak tercermin dalam perbuatannya
dalam memimpin. Jika demikian adanya, maka sesungguhnya ajaran ini bertentangan
dengan etika Islam yang menganjurkan cara-cara kebijaksanaan dalam mengkonfrontir
sesuatu yang bertentangan dengan aplikasi keimanan itu sendiri.
III. Kesimpulan
Sejarah
kemunculan aliran al-Mu’tazilah berawal ketika Washil bin ‘Atha’ mengeluarkan
pendapat sendiri dalam masalah posisi pelaku
dosa besar dalam sebuah majelis yang diasuh oleh Hasan Al-Bashri. Aliran
ini kemudian berkembang pesat di Bashrah dan Baghdad. Aliran
ini semakin meluas pada masa pemerintahan Khalifah al-Makmun, penguasa
Abbasiyah, setelah dijadikan sebagai mazhab resmi negara. Namun, sejak
peristiwa mihnah, paham ini mengalami kemunduran karena buku-buku mereka tidak dibaca lagi.
Tetapi, diawal abad ke-20 berbagai karya
al-Mu’tazilah mulai dipelajari kembali sehingga pandangan terhadap aliran ini
menjadi lebih jernih dan sumbangsihnya terhadap kepentingan Islam semakin
diketahui.
Pencetus ajaran
al-Mu’tazilah adalah Abu>
Huzaifah Wa>shil ibn ‘Atha’ al-Ghazza>l (80-131
H/699-749 M). Ia
pernah menjadi murid Hasan Al-Bashri saat ia belajar sejarah dan berbagai
cabang ilmu. Pengikut ajaran-ajarannya dikenal dengan sebutan Washiliyyah yang
memiliki empat doktrin dasar. Yaitu, al-manzilah bayn al-manzilatayn, kepercayaan
kepada Qadar atau free will and free act (kebebasan berkehendak
dan bertindak), peniadaan sifat-sifat Tuhan, dan pandangan mengenai
kelompok-kelompok yang beroposisi dalam Perang Jama>l dan Perang
Shiffi>n yang menurutnya, salah satu dari kelompok ini berada pada
posisi yang salah, tetapi ia tidak merinci kelompok mana yang salah.
Prinsip utama ajaran dasar al-Mu’tazilah
dikenal dengan istilah al-ushu>l
al-khamsah. Yaitu, Al-Tawhi>d, atau kemahaesaan Tuhan, Al-‘Adl,
atau paham keadilan Tuhan, Al-Wa’d wa al-Wa’i>d, atau paham
mengenai janji dan ancaman, Al-Manzilah bayn al-Manzilatain, yaitu posisi
menengah bagi pembuat dosa besar, dan Al-Amr bi al-Ma’ruf wa al-Nahy ‘an
al-Munkar.
DAFTAR PUSTAKA
A Nasir, Sahilun. Pemikiran Kalam (Teologi Islam): Sejarah,
Ajaran, dan Perkembangannya. Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2010.
Al-Syahrasta>ni, Muhammad
Ibn ‘Abd Al-Karim Ah}mad. Al-Milal Wa
Al-Nihal: Aliran-aliran Teologi dalam Islam. Penerjemah
Syuaidi Asy’ari. Bandung: Mizan, 2004.
Departemen
Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya. Jakarta: CV. Naladana, 2004.
Ensiklopedi Islam. Jakarta:
PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 2001.
Hitti,
Philip K. History Of The Arabs. New
York: Palgrave Macmillan, 2002.
Izutsu,
Toshihiko. Konsep Kepercayaan dalam
Teologi Islam: Analisis Semantik Iman Dan Islam. Diterjemahkan Oleh Agus
Fahri Husein. Cet. I. Yogyakarta:
Tiara Wacana Yogya, 1994.
Madkour, Ibrahim. Aliran dan Teori Filsafat Islam. Penerjemah
Yudian Wahyudi Asmin. Jakarta: Bumi Aksara, 1995.
Mujtahid, “Sejarah Asal Usul Aliran Teologi
Islam.” http://uin-malang.ac.id/index.php?option=com_content&view=article&id=2649:sejarah-asal-usul-aliran-teologi-islam&catid=35:artikel-dosen&Itemid=210
(Diakses tanggal 24 mei 2012).
Nasution, Harun. Islam Rasional: Gagasan dan Pemikiran Harun
Nasution. Cet. III. Bandung: Mizan, 2005.
Qadir, C.A. Filsafat dan Ilmu Pengetahuan dalam Islam. Penerjemah Hasan Basri.
Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1991.
Rahman, Fazlur. Islam. New York: Anchor Books, 1968.
Syukur
NC, Fatah. Sejarah Peradaban Islam. Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra,
2010.
Thahir,
Lukman S. Kritik Islam Rasional Harun
Nasution: Dari Nalar Tradisi, Modernitas, Hingga Nalar Kritis. Makassar:
Pustaka Refleksi, 2012.
Tim
Redaksi Bahasa Indonesia. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Pusat
Bahasa, 2008.
Yasid, Abu. Nalar dan Wahyu: Interrelasi dalam Proses
Pembentukan Wahyu. Jakarta: Erlangga, Tanpa Tahun.
[2]
Tim Redaksi
Bahasa Indonesia, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Pusat Bahasa, 2008), 979.
[3]
Sahilun A Nasir, Pemikiran Kalam (Teologi Islam): Sejarah, Ajaran, dan Perkembangannya (Jakarta:
RajaGrafindo Persada, 2010), 163.
[4]
Khawarij
beranggapan bahwa orang mukmin yang berdosa besar tidak dapat dikatakan mukmin
lagi, melainkan sudah menjadi kafir. Sementara Murji’ah tetap menganggap orang
mukmin yang berdosa besar itu sebagai mukmin, bukan kafir. Lihat Ensiklopedi Islam (Jakarta: PT. Ichtiar
Baru Van Hoeve, 2001), 290.
[5] Philip K.
Hitti, History of the Arabs (New
York: Palgrave Macmillan, 2002), 306.
[6]
Harun Nasution,
Islam Rasional: Gagasan dan Pemikiran
Harun Nasution (Bandung: Mizan, 2005), 128.
[7] Fazlur
Rahman, Islam (New York:
Anchor Books, 1968), 120.
[8]
Muhammad Ibn ‘Abd Al-Karim Ah}mad
Al-Syahrasta>ni, Al-Milal Wa Al-Nihal:
Aliran-aliran Teologi dalam Islam (Bandung: Mizan, 2004), 90.
[9]
Hasan Al-Bashri
(w. 110 H/728 M) adalah seorang ulama terkenal yang dipandang sebagai wakil
kesalehan warga Madinah. Lihat Fazlur Rahman,
Islam (New York: Anchor Books, 1968), 119.
[10]
Lukman S.
Thahir, Kritik Islam Rasional Harun
Nasution: Dari Nalar Tradisi, Modernitas, Hingga Nalar Kritis (Makassar:
Pustaka Refleksi, 2012), 54.
[11] Versi lain mengatakan, i’tazala
‘anna> (“ia mengasingkan diri dari kami”). Lihat Nasution, Islam Rasional, 128.
[12]
Al-Syahrasta>ni, Al-Milal, 90.
[13]
Nasution, Islam Rasional, 128.
[14]
Nasir, Pemikiran
Kalam, 165.
[15]
Lihat Ensiklopedi Islam (Jakarta: PT. Ichtiar
Baru Van Hoeve, 2001), 291.
[16] Mihnah adalah
Pengujian terhadap aparat pemerintahan tentang keyakinan mereka akan khalq
al-Qur’an. Al-Mu’tazilah berpendapat bahwa al-Qur’an adalah kalam Allah SWT
yang tersusun dari suara dan huruf-huruf. Al-qur’an itu makhluk dalam arti
diciptakan Tuhan. Karena ia diciptakan, berarti ia adalah sesuatu yang baru,
jadi tidak kadim. Jika ia kadim, maka akan timbul kesimpulan bahwa ada yang
kadim selain Allah SWT dan itu hukumnya musyrik.
[17]
Thahir, Kritik Islam, 57.
[19]
Lihat Ensiklopedi, 292.
[20]
Hitti, History, 306.
[21]
Al-Syahrasta>ni, Al-Milal, 88.
[22]
Al-Syahrasta>ni, Al-Milal, 88-89.
[23]
Nasution, Islam
Rasional, 130.
[24]
Al-Syahrasta>ni, Al-Milal, 88.
[25]
Nasution, Islam
Rasional, 131.
[27]
Ibrahim Madkour, Aliran dan Teori Filsafat Islam (Jakarta: Bumi Aksara, 1995), 48.
[28]
Nasir, Pemikiran
Kalam, 167.
[29]
C.A. Qadir, Filsafat
dan Ilmu Pengetahuan dalam Islam (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1991), 54.
[30]
Nasution, Islam
Rasional, 135.
[31]
Nasir, Pemikiran
Kalam, 168.
[32]
Nasution, Islam
Rasional, 135.
[34]
Madkour, Aliran,
51.
[35] Pembadanan,
penggambaran Allah SWT dengan hal-hal jismiyyah atai materialitas.
[36]
Nasir, Pemikiran
Kalam, 169.
[37]
Nasution, Islam
Rasional, 135-136.
[38]
Abu Yasid, Nalar
dan Wahyu: Interrelasi dalam Proses Pembentukan Wahyu (Jakarta: Erlangga,
Tanpa Tahun), 48.
[39]
Rahman, Islam
122.
[40]
Toshihiko
Izutsu, Konsep Kepercayaan dalam Teologi
Islam: Analisis Semantik Iman Dan Islam (Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya,
1994), 186.
[42]
Nasir, Pemikiran
Kalam, 172.
[43]
Nasution, Islam
Rasional, 136.
[45]
Izutsu, Konsep Kepercayaan, 186.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar