PENDIDIKAN KARAKTER SEBAGAI UPAYA
PENCEGAHAN DINI PERILAKU KORUPSI
Arman
B
I.
Pendahuluan
Dewasa ini masyarakat Indonesia
seakan dimanjakan oleh mass media baik cetak maupun elektronik dengan suguhan
berita tentang kasus-kasus korupsi. Hal ini mengindikasikan bahwa perilaku
korupsi seakan telah menjadi fenomena social ditengah masyarakat. Perilaku ini
telah merasuki semua sendi kehidupan mulai dari yang terkecil seperti lingkup
sekolah sampai kepada lingkup terbesar dalam pengelolaan keuangan Negara.
Korupsi merupakan kejahatan yang
luar biasa karena terjadi di semua bidang kehidupan dan dilakukan secara
sistematis, sehingga sulit untuk memberantasnya. Korupsi di Indonesia dapat
dikatakan sudah merupakan endemic,
sistemic, dan widespread. Korupsi bahkan
sudah merampas hak-hak ekonomi, sosial dan budaya (ekosob) masyarakat banyak
sehingga harus diberantas.[1]
Dengan semakin marak dan
mengakarnya perilaku korupsi sampai tingkat terbawah dan besarnya dampak
negative yang diakibatkannya, rasanya tidak mungkin untuk memberantas perilaku
jahat ini hanya dengan mengharapkan lembaga hukum negara sebagai leading sector
pemberantasan korupsi bagi pemerintah. Pendidikan karakter dapat dijadikan
solusi dalam pencegahan dini perilaku tersebut. Lalu, apa yang menyebabkan
maraknya perilaku korupsi. pendidikan karakter seperti apakah yang dapat
dijadikan solusi pencegahan dini dari perilaku korupsi. Makalah ini mencoba
memberikan gagasan-gagasan tentang penyebab perilaku korupsi dan jenis
pendidikan karakter yang dapat dikembangkan bagi anak dalam usaha untuk
menangkal sejak dini perilaku korupsi.
II.
Perilaku Korupsi: Faktor penyebab dan solusi
A.
Faktor penyebab korupsi
Menurut
WJS Poerwadarminta,[2] bahwa arti harfiah dari korupsi adalah “perbuatan
yang buruk, seperti penggelapan uang, penerimaan uang sogok, dan sebagainya”. Sedangkan
Kartono (1983), memberi batasan korupsi sebagai tingkah laku individu yang
menggunakan wewenang dan jabatan guna mengeruk keuntungan pribadi, merugikan
kepentingan umum, serta merupakan gejala salah pakai dan salah urus dari
kekuasaan, demi keuntungan pribadi, salah urus terhadap sumber-sumber kekayaan
negara dengan menggunakan wewenang dan
kekuatan-kekuatan formal (misalnya dengan alasan hukum dan kekuatan
senjata) untuk memperkaya diri sendiri.
Dari
definisi tersebut dapat disimpulkan
bahwa perbuatan korupsi adalah usaha buruk yang dilakukan seseorang yang mencakup
berbagai aspek dan semua sendi kehidupan yang dilakukan semata-mata untuk
kepentingan pribadi dan golongan dengan merugikan kepentingan umum yang mana
hal tersebut dilakukan karena kewenangan dan kekuasaan yang dimilikinya.
Kasus-kasus
korupsi yang sering diberitakan di mass media baik cetak maupun elektronik
belakangan ini pada umumnya dilakukan oleh orang-orang yang berlatar pendidikan
tinggi, hal ini menunjukkan bahwa disamping latar belakang ekonomi, praktek
korupsi tersebut terjadi bukan karena kurangnya pengetahuan mereka akan korupsi
tersebut tetapi lebih diakibatkan oleh lemahnya mental dan moral yang
melahirkan niat buruk untuk memperkaya diri sendiri dan golongan tanpa
memikirkan kerugian yang akan ditimbulkan bagi masyarakat umum yang justru
lebih membutuhkan barang, uang dan sejenisnya yang mereka korupsi itu. Miliaran
rupiah yang dikorupsi oleh segelintir oknum yang tidak bertanggung jawab
tentunya akan sangat berarti apabila digunakan pada tempatnya dan diperuntukkan
bagi rakyat kecil yang membutuhkan.
Dengan
demikian dapat dikatakan bahwa sebenarnya mereka yang melakukan praktek korupsi
atau yang dikenal dengan istilah koruptor adalah justru orang-orang yang unggul
secara akademik namun lemah dalam segi nilai-nilai akhlak. Pengetahuan dan
prestasi akademik yang diraih ternyata tidak sejalan dengan sikap dan
keterampilan yang dimiliki sehingga cenderung melupakan nilai-nilai ketuhanan.
Krisis akhlak yang melanda para koruptor menjadi tugas besar bagi dunia
pendidikan untuk menyiapkan generasi muda bangsanya.
III. Metode Pendidikan Karakter
A. Kegagalan dunia pendidikan dalam
pembentukan karakter
Menurut
Masnur Muslich,[3] dunia pendidikan telah
melakukan kesalahan karena telah melupakan tujuan utama pendidikan yaitu
mengembangkan pengetahuan, sikap, dan keterampilan secara simultan dan seimbang.
Dunia pendidikan kita telah memberikan porsi yang sangat besar untuk pengetahuan,
tetapi melupakan pengembangan sikap, nilai dan perilaku dalam pembelajarannya.
Dunia pendidikan kita sangat menyepelehkan dan meremehkan mata-mata pelajaran
yang berkaitan dengan pembentukan karakter bangsa.
Munculnya
gagasan pendidikan karakter di Indonesia, bisa dimaklumi karena proses
pendidikan yang selama ini berkembang dan dianut oleh para pemangku kebijakan
dalam dunia pendidikan masih dirasakan belum berhasil membangun manusia
Indonesia yang berkarakter yang memiliki daya filter dalam dirinya dalam
menangkal dan mencegah perilaku-perilaku kecurangan yang dapat merugikan orang
lain seperti korupsi. Salah satu indicatornya adalah banyaknya lulusan sekolah
atau sarjana yang hanya cerdas dalam menjawab soal-soal ujian dan ulangan yang
diberikan tetapi lemah mental dan moral karena belum dapat mempraktekkan
pengetahuan-pengetahuan yang didapatkannya dalam kehidupan sehari-harinya.
Bahkan banyak pakar bidang moral dan agama yang seharusnya memiliki karakter
yang dapat diteladani tetapi perilakunya tidak sejalan dengan ilmu yang
diajarkannya.
Pendidikan karakter bangsa harus
mampu membentuk generasi muda Indonesia yang mampu meneguhkan persatuan dan
kesatuan untuk melawan penjajahan dan nafsu imperialism dibidang politik,
kebudayaan, ekonomi, praktik kemunafikan Negara-negara maju yang terbungkus
dalam apa yang disebut globalisasi.[4]
Sejak
kecil, kita lebih sering diajarkan bagaimana menghafal nilai-nilai kebaikan dan
bagaimana bagusnya sikap jujur, kerja
keras, rajin, hidup sederhana, saling menyayangi dan bagaimana jahatnya
perilaku bohong, curang, sombong, dan boros. Tapi nilai-nilai kebaikan itu
hanya sebatas pengetahuan yang diajarkan dan diujikan diatas kertas dan dihafal
sebagai bahan yang wajib dipelajari. Nilai-nilai itu baru menjadi sebatas pengetahuan
dan belum menjadi pembiasaan.
Menurut Muslich, [5] Pendidikan
karakter adalah pendidikan budi pekerti plus, yaitu yang melibatkan aspek teori
pengetahuan (cognitive), perasaan (feeling), dan tindakan (action).
Pendidikan karakter belum dapat
dikatakan berhasil manakala ketiga aspek mendasar dalam pendidikan karakter itu
tidak berjalan beriringan dan pengetahuan tentang karakter-karakter baik yang
diajarkan dalam bangku-bangku sekolah itu belum diterjemahkan dalam perilaku
dan tindakan keseharian ditengah
masyarakat yang pada gilirannya akan menjadi kebiasaan-kebiasaan yang mengakar
yang melahirkan budaya malu apabila bertindak dengan karakter-karakter buruk.
B.
Pembentukan karakter baik melalui
proses pembiasaan.
Pendidikan karakter bukanlah
sebuah proses menghafal materi soal-soal ujian dan tekhnik menjawabnya.
Pendidikan karakater memerlukan pembiasaan. Pembiasaan unutk berbuat baik,
pembiasaan untuk berlaku jujur, ksatria, malu berbuat curang, malu bersikap
malas. Karakter sesungguhnya tidak terbentuk secara instan, tetapi harus
dilatih secara serius dan proporsional agar mencapai bentuk dan kekuatan yang
ideal.[6]
Penanaman nilai-nilai akhlak
melalui pendidikan karakter sejak usia dini merupakan solusi tepat untuk
menyiapkan generasi bangsa yang bermoral yang bisa membentengi dirinya dari
godaan perilaku korupsi yang menguntungkan diri sendiri tanpa merugikan orang
lain . Hal ini dikarenakan sebab sejak dini ia sudah dibiasakan untuk memegang
teguh prinsip-prinsip hidup mulia sehingga perilaku-perilaku tersebut kelak
akan terbawa hingga ia dewasa. Dalam kaidah ushul fiqh dijelaskan bahwa Al-‘a>dah Muhakkamah, bahwa
kebiasaan-kebiasaan itu akan menjadi hukum, begitupula dengan anak-anak yang
sejak dini telah diberikan pendidikan karakter dengan nilai-nilai akhlak yang
luhur maka hal tersebut akan terbawa hingga dewasa ia sehingga akan memegang
teguh prinsip-prinsip mulia itu.
Sifat-sifat
buruk yang timbul dalam diri anak sebenarnya bukanlah merupakan bawaan dari lahir
sebagai fitrah, karena fitrah setiap anak itu ialah kesucian sebagaimana
termaktub dalam al-hadith:
كُلُّ مَوْلُوْدٍ يُوْلَدُ
عَليَ اْلفِطْرَةِ
Kullu mawlu>d yu>lad ‘ala> al-fitrah.
“Setiap anak lahir dalam keadaan suci”
Bimbingan intensif dari orang tua dan
para pendidik terhadap anak sejak usia dini menjadi sangat penting agar anak
memiliki karakter yang baik. Hal ini disebabkan karena pada hakekatnya keluarga
adalah tempat paling pertama dan utama dalam pendidikan karakter dan
kepribadian seorang anak.
“The child thus, regulates his conduct according to
a moral code which he derives from the personality of his mother. Everything
she believes to be good, beautiful and true are regarded as ideal. This is the
beginning of the expression and satisfaction of his moral urge”.[7]
Pembentukan karakter seorang anak pada
hakekatnya dapat dilihat dari bagaimana cara orang tua terutama ibu dalam
mendidik dan memberikan keteladanan kepada anak-anaknya. Hasil bimbingan itu
akan terlihat langsung saat anak secara berangsur-angsur berkembang dan tampil
ditengah kehidupan masyrakat. Dengan demikian perilaku buruk yang timbul dalam
diri anak dapat diakibatkan karena kurangnya peringatan dini dari orang tua dan
para pendidik. Semakin dewasa usia anak maka akan semakin sulit bagi dirinya
unutk merubah perilaku buruknya. Banyak orang dewasa yang menyadari perilaku
buruk tetapi sangat sulit untuk merubahnya karena sudah sedemikan mengakarnya
perilaku buruk tersebut dalam dirinya. Maka berbahagialah para orang tua yang
selalu memperingati dan dan mencegah anaknya dari perilaku buruk seperti
berlaku curang yang merupakan cikal bakal perilaku korupsi sejak dini karena
dengan demikian mereka sesungguhnya telah menyiapkan dasar mental dan moral
yang kuat bagi anak dimasa mendatang. Dengan demikian anak tersebut telah
diberikan pendidikan sejak dini yang menjadi solusi dalam pencegahan perilaku
korupsi.
IV. Kesimpulan
Perilaku korupsi pada hakekatnya
disebabkan oleh lemahnya mental dan moral serta nilai-nilai kebaikan yang
dimiliki oleh para koruptor. Kelemahan mental, moral, dan nilai-nilai kebaikan
ini disebabkan karena proses pendidikan yang hanya menitikberatkan pada aspek
pengetahuan tanpa memberikan porsi yang cukup bagi pendidikan karakter yakni pengembangan
aspek sikap, nilai, dan perilaku.
Pencegahan korupsi adalah perkara
yang tidak mudah diselesaikan karena ia merupakan sikap yang terbentuk dari
kebiasaan perilaku buruk sejak kecil. Solusi tepat bagi pencegahan korupsi ini
hanya bisa dilakukan dengan mempersiapkan generasi mendatang yang berkarakter
kuat yang memiliki prinsip-prinsip mulia yaitu dengan menanamkan kebiasaan dan
nilai-nilai kebaikan sejak dini. Hal ini dapat dilakukan dengan pendidikan
karakter yang dapat dimulai dari kalangan keluarga sampai kepada pendidik
sehingga kelak akan menjadi kebiasaan yang tertanam bagi anak dalam kehidupan bermasyarakat.
[2]
Dikutip dalam Andrias Cahyono, “Cegah korupsi sejak dini,” http://www.okezone.com/cegah-korupsi-sejak-dini.htm,
(diakses, 18 April 2012)
[3] Masnur Muslich, Pendidikan Karakter: Menjawab Tantangan
Krisis Multidimensional (Jakarta, Bumi Aksara, 2011), 17.
[4] Marwan Saridjo, Pendidikan Islam dari masa ke masa (Bogor,
Al-Manar Press, 2011), 290.
[5] Muslich, Pendidikan Karakter, 29.
[6] Adian Husaini, Membentuk
manusia berkarakter dan beradab (Bandung, Makalah disampaikan pada seminar
pendidikan karakter, 28 juli 2010), 10.
[7] KMI Gontor Ponorogo, English Lesson For Class Six: Mother and
Moral Education (Gontor: Darussalam Press, 1992), 5.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar