Oleh : Arman B
I.
Pendahuluan
Kemajuan
peradaban manusia dewasa ini tak bisa dilepaskan dari kemajuan ilmu pengetahuan
yang menjadi warisan terbesar dari proses pendidikan yang terjadi. Proses
pendidikan itu dapat dikatakan berlangsung dalam semua lingkungan pengalaman
hidup manusia mulai dari lingkup terkecil seperti keluarga, sekolah sampai
kepada masyarakat luas. Hal ini berlangsung dalam semua tahapan perkembangan
seseorang sepanjang hayatnya yang dikenal dengan istilah longlife education.
Dalam
Islam pendidikan tidak dilaksanakan hanya dalam batasan waktu tertentu saja,
melainkan dilakukan sepanjang usia (min al-mahd ila> al-lahd).
Islam juga memotivasi pemeluknya untuk selalu membaca, menelaah dan meneliti
segala sesuatu yang menjadi fenomena dan gejala yang terjadi di jagad alam raya
ini dalam rangka meningkatkan kualitas keilmuan dan pengetahuan yang pada
akhirnya akan meningkatkan kualitas hidup dan kehidupannya. Dalam pandangan
Islam tua atau muda, pria atau wanita, miskin atau kaya mendapatkan porsi yang sama
dalam menuntut ilmu (pendidikan). Bukan hanya pengetahuan yang terkait urusan ukhrowi
saja yang ditekankan oleh Islam, melainkan pengetahuan yang terkait dengan
urusan duniawi juga. Karena manusia dapat mencapai kebahagiaan hari
kelak dengan melalui jalan kehidupan dunia ini.
Berbicara
tentang pendidikan tidak bisa dilepaskan dari pembahasan tentang kegiatan belajar mengajar yang merupakan
bagian tak terpisahkan dari dunia pendidikan itu sendiri. Belajar mengajar
memiliki peran yang sangat penting karena tanpa itu proses transformasi dan
aktualisasi pengetahuan moderen sulit untuk diwujudkan. Makalah ini mencoba memaparkan
berbagai hal tentang pendidikan dan kewajiban belajar mengajar serta ilmu
pengetahuan dalam pandangan al-Quran.
II.
Dasar-dasar Pendidikan dalam Al-qur’an
“Allah akan meninggikan
orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu
pengetahuan beberapa derajat”. (QS. Al-Muja>dilah:11)[1]
Menurut Mushtafa Al-Maraghi,[2]
ayat ini mengandung pengertian bahwa orang-orang mukmin yang akan ditinggikan
derjatnya oleh Allah SWT adalah mereka yang mengikuti perintah-perintah Allah
dan Rasul-Nya dan khususnya mereka yang memperoleh ilmu pengetahuan. Adapun
derajat yang dimaksud disini adalah kedudukan yang khusus baik dari segi pahala
yang banyak maupun tingkatan-tingkatan keridhaan dari Allah SWT.
Keutamaan yang diberikan kepada orang yang berilmu menjadi
sangat beralasan mengingat cara kerja, amalan, dan ibadah orang yang berilmu
tentulah memiliki nilai dan kualitas yang lebih baik dibanding mereka yang
bekerja, beramal dan beribadah tidak dengan ilmu. Ayat ini juga bisa dipahami sebagai salah satu dalil
tentang urgensi pendidikan bagi seorang muslim dalam menjalani kehidupannya didunia
ini.
Tidaklah keliru jika dinyatakan bahwa al-qur’an adalah kitab
pendidikan. Hal ini disebabkan bahwa hampir semua unsur yang berkenaan dengan
ayat-ayat kependidikan disinggung secara tersurat atau tersirat oleh al-qur’an.
Rasulullah SAW yang menerima wahyu dan bertugas menyampaikan dan mengajarkan
ajaran-ajaran yang terkandung didalamnya menamai dirinya sebagai “guru”. Aku
diutus sebagai sebagai seorang pendidik (Bu’ithtu mu’alliman), demikian
sabdanya.[3]
Menurut Fathurrahman dan Sutikno,[4]
bahwa tauhid merupakan hal yang paling mendasar dan fundamental terhadap segala
aspek kehidupan para penganut agama islam, tak terkecuali pada aspek
pendidikan. Hal ini sejalan dengan tujuan pendidikan yaitu sebagai sarana untuk
mendekatkan diri kepada Allah SWT.
Oleh sebab itu, seorang penuntut ilmu diharapkan dapat berperan
menjadi khalifah Allah dimuka bumi ini, yang tidak hanya memanfaatkan
persediaan alam yang melimpah, tetapi juga menjadi manusia yang pandai
bersyukur kepada yang membuat manusia dan alam, memperlakukan manusia lainnya
sebagai khalifah dan memperlakukan alam tidak hanya sebagai objek penderita
semata, tetapi juga sebagai komponen integral dari sistem kehidupan dibumi ini
sesuai dengan konsep tauhid dan tujuan penciptaannya dimuka bumi ini.
Sehubungan dengan fungsi manusia sebagai khalifah di muka bumi ini,
Al-Qur’an menjelaskan hal tersebut dalam surat Hud (11): 61:
Dan
kepada Tsamud (kami utus) saudara mereka, Saleh. Dia berkata, Wahai kaumku!
Sembahlah Allah, tidak ada Tuhan bagimu selain Dia. Dia telah menciptakanmu
dari bumi (tanah) dan menjadikanmu pemakmurnya, karena itu mohonlah ampunan
kepada-Nya, kemudian bertobatlah kepada-Nya. Sesungguhnya Tuhanku sangat dekat
(rahmat-Nya) dan memperkenankan (do’a hamba-Nya).[5]
Menurut Umar Shihab,[6] tafsiran
kontekstualitas dari ayat ini memberikan pengertian bahwa manusia yang
dijadikan khalifah dibumi ini bertugas untuk memakmurkan atau membangun bumi
sesuai dengan konsep yang ditetap oleh al-Qur’an, yakni untuk bertakwa kepada
Allah. Sedangkan kekhalifahan itu mengharuskan adanya empat sisi yang saling
berkaitan, yaitu: (1) pemberi tugas, dalam hal ini Allah SWT; (2) penerima
tugas dalam hal ini manusia secara perorangan atau kelompok; (3) tempat atau
lingkungan dimana itu berada; (4) materi-materi penugasan yang harus mereka
laksanakan.
Tugas ini tidak akan dinilai berhasil apabila materi penugasan
tidak dilaksanakan, dan kaitan antara penerima tugas dan lingkungannya tidak
diperhatikan. Oleh karena itu, penjabaran dari tugas kekhalifahan harus sejalan
dan diangkat dari dalam masyarakat itu sendiri.
Menurut Quraish Shihab, seperti yang dikutip Fathurrahman dan
Sutikno,[7] tauhid
yang merupakan dasar dari pendidikan islami dapat dirumuskan sebagaimana
berikut:
Pertama, kesatuan
kehidupan. Ini berarti bahwa kehidupan keduniaan seorang manusia mesti menyatu
dengan kehidupan ukhrowinya. Sukses atau gagalnya ia dalam kehidupan
akhirat sangat ditentukan oleh amalan-amalan yang dikerjakannya selama
mengarungi kehidupannya didunia.
Kedua, kesatuan ilmu.
Tidak ada pemisahan antara ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu umum karena semuanya
bersumber dari satu sumber yaitu Allah SWT.
Ketiga, kesatuan iman
dan rasio. Karena masing-masing dibutuhkan dan masing-masing mempunyai
wilayahnya sehingga harus saling melengkapi.
Keempat, kesatuan agama.
Agama yang dibawa oleh para Nabi kesemuanya bersumber dari Allah SWT,
prinsip-prinsip pokoknya menyangkut akidah, syariah dan akhlak tetap sama dari
zaman dahulu sampai sekarang.
Kelima, kesatuan
individu dan masyarakat. Masing-masing harus saling menunjang.
Pendidikan
dalam pandangan islam sangat berbeda dengan pandangan baik di dunia barat
maupun timur. Perbedaan mendasar antara keduanya terletak pada sikap atau
pandangan tentang hidup itu sendiri, dimana islam menganggap bahwa hidup
bukanlah akhir dari segalanya tetapi merupakan alasan untuk mencapai tujuan-tujuan spiritual lain setelah
hidup. Dengan demikian kegiatan belajar mengajar pun mesti diarahkan mencapai
tujuan spiritual lain setelah kehidupan sipebelajar.
Menurut
Umar Shihab,[8] bahwa dasar pemikiran yang menggambarkan
harapan atau tujuan dari setiap bentuk dari belajar tersebut mestilah sejalan
dengan tujuan Al-qur’an, yakni mengadakan perubahan-perubahan postif dalam
masyarakat, sesuai dengan gambaran Al-qur’an dalam surah Ibrahim ayat 1:
الر.كِـتَابٌ
أَنْزَلْـنهُ إِلَـيْكَ لِـتُخْـرِجَ الـنَّاسَ مِنَ الظُّـلُـمَاتِ إِلىَ الـُّنـْورِبِـإِذْنِ
رَبِّــهِمْ إِلىَ صِرَاطِ اْلعَـزِيْزِاْلحَـمِيْـدِ
“Ini adalah Kitab yang Kami turunkan kepadamu supaya kamu
mengeluarkan manusia dari gelap gulita kepada cahaya terang benderang dengan
izin Tuhan Yang Maha Kuasa lagi Maha Terpuji” (Qs. Ibrahim: 1)[9]
III.
Kewajiban Belajar Mengajar
A.
Pengertian belajar mengajar
Manusia dapat
dikatakan sebagai makhluk belajar, karena “belajar” telah dimulainya
bahkan sebelum berbentuk sebagai manusia yaitu ketika masih berbentuk
spermatozoa yang belajar berusaha untuk
mempertahankan eksistensinya ditengah 200-600 juta spermatozoa lainnya yang
berjuang untuk survive menembus ovum untuk kemudian menjadi cikal bakal manusia
yang mendiami rahim. Banyak diantaranya yang gugur ditengah jalan dan uniknya
hanya satu atau dua sperma yang berhasil finish mencapai ovum dan terjadi
konsepsi, sementara yang lain mati dan menjadi nutrisi bagi ovum yang telah
dibuahi.[10]
Secara sederhana, belajar berarti berusaha
mengetahui sesuatu, berusaha memperoleh ilmu pengetahuan (kepandaian,
keterampilan).[11]
Belajar adalah sesuatu yang menarik karena sebagai makhluk individu dan makhluk
sosial manusia selalu berusaha mengetahui sesuatu yang berada dalam lingkungannya untuk
menunjukkan eksistensi kemanusiaannya. Sedangkan
mengajar adalah memberikan serta menjelaskan kepada
orang tentang suatu ilmu; memberi pelajaran.
Dari definisi
tersebut, dapat disimpulkan bahwa kegiatan belajar mengajar merupakan suatu
aktifitas yang dikerjakan dalam rangka memperoleh ilmu pengetahuan, sedangkan
dalam proses itu sendiri ada sipelajar yang menerima ilmu dan ada guru yang
memberikan pelajaran. Maka berbicara tentang belajar mengajar, tidak bisa
dilepaskan dari ilmu pengetahuan itu sendiri sebagai objek dari kegiatan ini.
Sejak awal
kehadirannya, islam telah memberikan perhatian yang amat besar terhadap
kegiatan belajar dalam arti yang seluas-luasnya. Hal ini antara lain dapat
dilihat pada apa yang ditegaskan dalam al-Qur’an, dan pada yang secara empiris
dapat dilihat dalam sejarah. Yang dimakud dengan belajar mengajar (pendidikan)
dalam arti yang seluas-luasnya disini adalah pendidikan yang bukan hanya
berarti formal seperti disekolah, tetapi juga yang informal dan nonformal.
Yaitu pendidikan dan pengajaran yang dilakukan oleh siapa saja yang memiliki
ilmu pengetahuan dan keahlian, kepada siapa saja yang membutuhkan, dimana saja
mereka berada, menggunakan sarana apa saja, dengan cara-cara apa saja,
sepanjang hayat manusia itu.[12]
B.
Ilmu Pengetahuan dalam Islam
Kata ilmu
berasal dari bahasa arab ‘ilm yang berarti pengetahuan, merupakan lawan
kata jahl yang berarti ketidaktahuan atau kebodohan. Sumber lain
mengatakan bahwa kata ‘ilm adalah bentuk masdar dari ‘alima, ya’lamu-‘ilman. kata ilmu
biasa disepadankan dengan kata arab lainnya yaitu ma’rifah (pengetahuan),
fiqh (pemahaman), hikmah (kebijaksanaan), syu’ur (perasaan).
Ma’rifah adalah padanan kata yang paling sering digunakan.[13]
Dalam dunia
islam, ilmu bermula dari keinginan untuk memahami wahyu yang terkandung dalam
al-Qur’an dan bimbingan Nabi Muhammad SAW mengenai wahyu tersebut. Al-‘ilm itu
sendiri dikenal sebagai sifat utama Allah SWT. Dalam bentuk kata yang berbeda,
Allah SWT disebut juga sebagai al-‘A<lim dan ‘Ali>m, yang artinya “Yang Maha Mengetahui
atau Yang Maha Tahu”. Ilmu merupakan satu-satunya kata yang komprehensif serta
bisa digunakan untuk menerangkan pengetahuan Allah SWT. Keterangan tafsir
seringkali menekankan hubungan yang erat dengan kelima ayat al-Qur’an yang
pertama diwahyukan (QS. Al-‘Alaq, ayat 1-5).[14]
Kata ilmu sendiri dengan berbagai bentuknya terulang
sebanyak 854 kali dalam al-Qur’an. Dalam al-Qur’an, ilmu merupakan keistimewaan
yang menjadikan manusia unggul terhadap makhluk-makhluk lainnya guna menjalankan
fungsi kekhalifahannya. Manusia, menurut al-Qur’an memiliki potensi untuk
meraih ilmu dan mengembangkannya dengan seizin Allah, karena itu bertebaran
ayat yang memerintahkan manusia untuk mewujudkan hal tersebut. Berkali-kali
pula al-Qur’an menunjukkan betapa tinggi kedudukan orang yang berpengetahuan.
Al-Qur’an
memberikan prinsip dasar tentang ilmu pengetahuan pada wahyu pertama, yaitu:
إِقْرَأْ
بِاسْمِ رَبِّكَ الَّذِي خَلَقَ (1) خَلَقَ الْإِنْسَانَ مِنْ عَلَقٍ (2) إِقْرَأْ وَرَبُّكَ الأَكـْرَمُ (3) الَّذِي
عَلَّمَ بِالْقَلَمِ (4) عَلَّمَ الإ ِنْسَانَ
مَا لَمْ يَعْلَمْ (5)
1.
Bacalah
dengan menyebut nama Tuhanmu yang menciptakan
2.
Dia
yang telah menciptakan manusia dari segumpal darah
3.
Bacalah,
dan Tuhanmulah Yang Mahamulia
4.
Yang
mengajar (manusia) dengan pena
5.
Dia
mengajarkan manusia apa yang tidak diketahuinya.
Dalam
ayat ini kata iqra’ dapat berarti membaca atau mengkaji.
Sebagai aktivitas intelektual dalam arti yang luas, guna memperoleh berbagai
pemikiran dan pemahaman, tetapi segala pemikiran itu tidak boleh lepas dari
Aqidah Islam, karena iqra` haruslah dengan bismi rabbika.
Menurut Quraish Shihab,[15]
kata iqra’ terambil dari akar kata yang berarti menghimpun, yang mana
melahirkan makna lain seperti, menyampaikan, menelaah, mendalami, meneliti,
mengetahui ciri sesuatu, dan membaca baik teks yang tertulis maupun yang tidak.
Wahyu pertama ini tidak menjelaskan hal spesifik tentang apa yang harus dibaca,
karena Al-Qur’an menghendaki ummatnya membaca apa saja selama bacaan itu bismi
Rabbik, dalam artian bermanfaat bagi manusia.
Sementara kata al-qalam adalah simbol transformasi ilmu
pengetahuan dan teknologi, nilai dan keterampilan dari satu generasi ke
generasi berikutnya. Kata ini merupakan simbol abadi sejak manusia mengenal
baca-tulis hingga dewasa ini. Proses transfer budaya dan peradaban tidak akan
terjadi tanpa peran penting tradisi tulis–menulis yang dilambangkan dengan
al-qalam.
Selanjutnya,
dapat diketahui pula bahwa ada dua cara perolehan dan pengembangan ilmu, yaitu Allah mengajar dengan
pena sebagaimana yang telah diketahui manusia lain sebelumnya, dan mengajar
manusia tanpa pena yang belum diketahuinya. Cara pertama adalah mengajar dengan
alat atau atas dasar usaha manusia dan cara kedua adalah mengajar tanpa alat dan
tanpa usaha manusia. Meskipun berbeda namun keduanya bersumber dari satu sumber
yaitu Allah SWT.[16]
Wahyu pertama
ini dimulai dengan kata (
إقرأ = membaca) yaitu bentuk kata perintah atau فعل
الأمر yang merupakan perubahan dari kata bentuk mudha>ri’ yang
dibentuk dengan mengganti awalan katanya dengan huruf alif.[17]
Menurut kaidah ushul al-fiqh, bahwa kata-kata dalam al-qur’an yang
dimulai dari kata perintah adalah merupakan kewajiban dari perintah iu sendiri,
al-ashl fi> al-amr lil wuju>b. Dari sini dapat
dipahami bahwa perintah belajar (membaca) merupakan sebuah kewajiban bagi ummat
islam. Hal ini sesuai dengan sabda Nabi Muhammad SAW:
طَلَبُ اْلعِلْمِ
فَرِيْضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ وَ مُسْلِمَةٍ
Menurut
Al-Ghazali,[19]
hadith ini menerangkan bahwa sekurang-kurangnya yang wajib bagi seorang muslim
setelah mencapai akil baligh dan keislamannya adalah mengetahui dua kalimat
syahadat dan memaknai maknanya, tidak wajib baginya untuk menyempurnakannya
dengan penjelasan-penjelasan terperinci.
Selain itu,
menurut Abuddin Nata,[20] wahyu
pertama ini juga mengandung perintah agar manusia memiliki keimanan, yaitu
berupa keyakinan terhadap adanya kekuasaan dan kehendak Allah, yang juga
mengandung pesan ontologis tentang sumber dari ilmu pengetahuan. Pesan membaca
itu dipahami dalam objek yang bermacam-macam, yaitu berupa apa yang tertulis
seperti dalam surah Al-‘Alaq itu sendiri dan yang tidak tertulis sperti yang
terdapat pada alam jagat raya dengan segala hukum kausalitas yang ada didalamnya,
dan dalam diri manusia.
Membaca (belajar)
menjadi penting dan wajib karena dengan begitu manusia dapat mengetahui
hal-hal baru yang dapat memudahkannya dalam menjalani kehidupannya. Masih
menurut Nata,[21]
membaca ayat-ayat Allah yang ada dalam al-Qur’an dapat menghasilkan ilmu-ilmu
agama seperti Fiqih, Tauhid, Akhlak dan sebagainya. Sedangkan membaca yang ada
dijagat raya dapat menghasilkan ilmu sains seperti fisika, biologi, kimia dan
sebagainya. Selanjutnya dengan membaca ayat-ayat Allah yang ada dalam diri
manusia dari segi fisiknya menghasilkan sains seperti ilmu kedokteran dan ilmu
raga, sedangkan dari tingkah lakunya dapat menghasilkan ilmu ekonomi, politik,
sosiologi, antropologi dan lain sebagainya.
Dengan demikian,
karena objek ontologi seluruh ilmu tersebut adalah ayat-ayat Allah, maka
sesungguhnya ilmu itu pada hakekatnya adalah milik Allah dan harus diabdikan
untuk Allah. Manusia hanya menemukan dan memanfaatkan ilmu-ilmu itu. Maka pemanfaatannya
harus ditujukan untuk mengenal, mendekatkan diri dan beribadah kepada Allah
SWT.
IV.
Kesimpulan
Dalam
banyak ayat, islam memotivasi pemeluknya untuk selalu belajar dengan membaca,
menelaah dan meneliti segala sesuatu yang menjadi fenomena dan gejala yang terjadi
di jagad alam raya ini untuk memperoleh ilmu pengetahuan, bukan hanya
pengetahuan yang terkait urusan ukhrowi saja tetapi juga urusan duniawi
juga. Karena manusia dapat mencapai kebahagiaan hari kelak dengan melalui
jalan kehidupan dunia ini.
Tauhid merupakan hal yang paling mendasar dan fundamental pada
aspek pendidikan. Hal ini sejalan dengan tujuan pendidikan yaitu sebagai sarana
untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT. Olehnya itu, Penuntut ilmu diharapkan
dapat berperan menjadi khalifah Allah dimuka bumi ini sesuai dengan konsep
tauhid dan tujuan penciptaannya dimuka bumi ini.
Keterangan tafsir seringkali menekankan hubungan yang erat
dengan kelima ayat al-Qur’an yang pertama diwahyukan (QS. Al-‘Alaq, ayat 1-5). Dalam ayat ini kata iqra’ dapat berarti membaca
atau mengkaji, yaitu aktivitas intelektual dalam arti yang luas, guna
memperoleh berbagai pemikiran dan pemahaman, tetapi segala pemikiran itu tidak
boleh lepas dari Aqidah Islam, karena iqra` haruslah dengan bismi rabbika.
Kata perintah yang memulai ayat ini
mengandung pengertian tentang kewajiban menuntut ilmu bagi seorang muslim
karena dengan membaca (belajar) manusia dapat
mengetahui hal-hal baru yang dapat memudahkannya dalam menjalani kehidupannya.
Namun, sesungguhnya ilmu itu pada hakekatnya adalah milik Allah dan harus
diabdikan untuk Allah, pemanfaatannya harus ditujukan untuk mengenal,
mendekatkan diri dan beribadah kepada Allah SWT.
[1] Departemen Agama RI, Al-Qur’an
dan Terjemahnya (Jakarta: CV. Naladana, 2004), 793.
[2] Ahmad Musthafa Al-Maraghi, Terjemah Tafsir
Al-Maragi (Semarang: Toha Putra, 1993), 25.
[3] M. Quraish Shihab, Secercah Cahaya Ilahi: Hidup Bersama
Al-quran (Bandung: Mizan, 2000), 67.
[4] Pupuh Fathurrohman dan M. Sobry Sutikno, Strategi Belajar
Mengajar: Melalui Penanaman Konsep Umum & Konsep Islam (Bandung: PT
Refika Aditama, 2010), 121.
[5] Departemen Agama, Al-Qur’an (Jakarta: CV. Naladana,
2004), 306-307.
[6] Umar Shihab, Kontekstualitas Al-Qur’an: Kajian Tematik Atas
Ayat-ayat Hukum Dalam Al-Qur’an. Cetakan V (Jakarta: Penamadani, 2008),
157.
[7] Fathurrohman dan Sutikno, Strategi Belajar Mengajar (Bandung: PT Refika Aditama, 2010), 121.
[9] Departemen Agama, Al-Qur’an (Jakarta: CV. Naladana,
2004), 345.
[10] Muhammad Izzuddin Taufiq, Dalil
Anfus Alqur’an Dan Embriologi (Ayat-ayat Tentang Penciptaan Manusia) (Solo:
Tiga Serangkai, 2006), 42.
[12]
Abuddin Nata, Tafsir
Ayat-ayat Pendidikan (Tafsir Al-ayat Al-Tarbawy) (Jakarta: Rajagrafindo,
2002), 35.
[13] Ibid,
155
[14] Ibid, 157
[15] M. Quraish Shihab, Wawasan Al-qur’an:
Tafsir Maudhu’i Atas Pelbagai Persoalan Umat (Bandung: Mizan, 2001), 433.
[16] Ibid, 434.
[17] Abdullah Abbas Nadwi, Learning The Language
Of The Holy Al-Qur’an (Belajar Mudah Bahasa Al-Qur’an) (Bandung: Mizan,
1996), 186.
[18] Dikutip dari Al-Ghazali, Mutiara
Ih}ya>’ ’Ulu>muddi>n: Ringkasan Yang Ditulis Sendiri Oleh Sang
Hujjatul-Islam (Bandung: Mizan, 2003), 26.
[20]
Nata, Tafsir Ayat-ayat Pendidikan (Jakarta: Rajagrafindo, 2002), 43.
[21] Ibid, 44.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar