REALISME
Oleh : Arman B
I.
Pendahuluan
Studi
tentang filsafat yang berkaitan dengan ketuhanan, alam, dan manusia melahirkan
berbagai macam aliran filsafat. Hal ini disebabkan karena filsafat yang merupakan
hasil dari pemikiran seseorang atau beberapa ahli filsafat tentang suatu hal
secara mendalam dan fundamental, menggunakan cara pendekatan yang berbeda dalam
memecahkan suatu masalah yang pada akhirnya melahirkan kesimpulan-kesimpulan
yang berbeda pula, meskipun menghadapi permasalahan
yang sama. Perbedaan ini dapat disebabkan pula oleh faktor-faktor lain seperti
kondisi historis, sosio-kultural, pengaruh zaman, dan alam pikiran dari
individu para filosof tersebut.
Teori-teori
tentang ajaran filsafat yang berbeda-beda tersebut, oleh para peneliti dikaji
sedemikian rupa sehingga menghasilkan susunan dalam suatu sistematika dengan
kategori tertentu yang menghasilkan klasifikasi-klasifikasi teori. Dari sinilah
kemudian lahir apa yang disebut aliran filsafat seperti; rasionalisme, idealisme, empirisme,
pragmatism, realisme, positivisme, matrealisme, eksistensialisme, dan lain
sebagainya.
Dunia
benda dengan segala realitas obyektif yang dirasakan oeh indera saat
berinteraksi dengannya harus memberikan penjelasan meyakinkan kesalahan, atau
sebaliknya harus menjelaskan kebenaran. Lalu, bagaimana filsafat memandang hal
tersebut?. Makalah ini akan membahas tentang konsep realitas dari sudut
pandang filsafat aliran realisme, dan jenis aliran realisme.
II.
Filsafat dan Realisme
a.
Filsafat
Secara sederhana filsafat berarti pengetahuan dan
penyelidikan dengan akal budi mengenai hakikat segala yang ada, sebabnya,
asalnya, dan hukumnya.[1]
Kata ini memiliki padanan kata philosophia dalam bahasa Latin, philosophy
dalam bahasa Inggirs, philosophic dalam bahasa Jerman, Belanda, dan
Prancis, dan falsafah dalam bahasa Arab. Semua istilah ini bersumber
dari bahasa Yunani yaitu, philosophia yang terambil dari kata philein
yang berarti “mencintai”, sedangkan philos yang berarti “teman, kawan,
sahabat”. Selanjutnya, istilah sophos yang berarti “bijaksana”,
sedangkan Sophia yang berarti “kebijaksanaan”.[2]
Dalam konteks keindonesiaan, penulis lebih cendrung
sepakat dengan istilah filsafat dalam pandangan Harun Nasution yang dikutip
oleh Bakhtiar.[3] Beliau mengatakan bahwa
kata “filsafat” dalam istilah Indonesia berawal dari bahasa Arab, falsafah, bukan
Inggris. Hal ini disebabkan karena bahasa Arab lebih awal mempengaruhi bahasa
Indonesia dibandingkan bahasa Inggris. Mizan atau timbangan kata falsafah
adalah fa’lala, fa’lalah dan fi’la>l. Dengan demikian,
kata benda dari falsafa seharusnya falsafah dan filsaf. Menurutnya,
dalam bahasa Indonesia banyak terpakai kata filsafat, padahal bukan berasal
dari kata Arab, falsafah, dan bukan dari kata Inggris, philosophy. Kendati
demikian, istilah filsafat bisa diterima dalam bahasa Indonesia karena sebagian
kata Arab yang di-Indonesia-kan mengalami perubahan dalam huruf vokalnya,
seperti masjid menjadi mesjid dan kara>mah menjadi keramat.
Karena itu, perubahan huruf a menjadi i dalam kata falsafah dapat
ditolerir.[4]
Ada dua arti secara etimologis dari kata filsafat
yang sedikit berbeda. Pertama, apabila istilah filsafat mengacu pada
asal kata philein dan sophos, maka artinya mencintai hal-hal yang
bersifat bijaksana (bijaksana dimaksudkan sebagai kata sifat). Kedua, apabila
filsafat mengacu pada asal kata philos dan sophia, maka artinya
adalah teman, kawan, sahabat kebijaksanaan (kebijaksanaan dimaksudkan sebagai kata
benda).[5]
Plato mengatakan, bahwa filsafat adalah pengetahuan
tentang segala yang ada. Aristoteles menjabarkan, bahwa filsafat adalah
menyelidiki sebab dan asas segala benda. Sementara Al-Farabi mengatakan, bahwa
filsafat adalah pengetahuan tentang alam yang maujud dan bertujuan untuk
menyelidiki hakikat yang sebenarnya. Sedangkan Immanuel Kant berpendapat, bahwa
filsafat adalah pengetahuan mengenai pokok pangkal dari segala pengetahuan dan
perbuatan. Sementara Harun Nasution mengatakan bahwa filsafat adalah berfikir
menurut tata tertib (logika) dengan bebas (tidak terikat pada tradisi, dogma,
dan agama) dan dengan sedalam-dalamnya, sehingga sampai ke dasar-dasar
persoalan.[6]
Perbedaan pendapat yang dikemukakan oleh tokoh-tokoh
filsafat tersebut dapat disebabkan oleh perbedaan pandangan mengenai fungsi
filsafat pada masing-masing tokoh dan latar belakang mereka yang berbeda-beda
pula. Namun, dari perbedaan-perbedaan tersebut, dapat ditarik kesimpulan bahwa
terdapat persamaan yang merupakan unsur-unsur dasar dari filsafat itu sendiri.
Unsur-unsur dasar dalam filsafat itu adalah pembahasan tentang segala yang ada
yang dikaji secara radikal, rasional, sistematis, bebas, kritis, dan universal.
Untuk mengetahui tentang arti dan hakikat dari
filsafat, sebaiknya tidak perlu untuk mengetahui arti dari filsafat itu
sendiri. Sebab, semakin mendalam mempelajari dan membaca hal-hal yang
menyangkut filsafat, maka akan melahirkan pengertian sendiri yang lebih
konprehensif tentang filsafat itu. Setelah berfilsafat sendiri, maka ia akan
menjadi semakin maklum akan makna filsafat, dan makin dalam ia berfilsafat maka
semakin dalam pula pemahamannya tentang hakikat filsafat, namun dengan catatan
bahwa ia memiliki stabilitas mental yang cukup dan telah memiliki dasar-dasar
keilmuan lain yang dapat mendukung analisa filsafatnya.
Dalam sejarah filsafat, biasanya filsafat Yunani
dimajukan sebagai pangkal sejarah filsafat barat. Hal ini disebabkan karena
dunia barat dalam alam pikirannya berpangkalkan kepada pikiran Yunani. Didaerah
Yunani, atau setidak-tidaknya didaerah yang dimasukkan ke dalam wilayah Yunani,
sudah sedemikan lama sebelum permulaan tahun Masehi ahli-ahli pikir mencoba
menerka teka-teki alam. Mereka mencoba mendalami dan mau mengerti apakah yang
menjadi asal mula alam yang melingkunginya itu dengan segala isi yang
terkandung didalamnya.[7]
Pengembaraan akal dan wisata pencarian hakikat sesuatu yang dialami oleh para ahli
pikir secara radikal dan mendalam menimbulkan pertanyaan-pertanyaan kritis
seperti apa, mengapa, dan bagaimana, yang pada akhirnya
melahirkan jawaban-jawaban spekulatif yang memunculkan teori-teori filsafat.
Perbedaaan sudut pandang dalam memaknai sesuatu ini pada gilirannya
menjadi dasar dalam timbulnya berbagai aliran filsafat, salah satunya adalah
realisme.
b.
Realisme
Realisme
berasal dari kata dalam bahasa Inggris yaitu real, atau yang nyata.[8]
Dalam pengertian lain real berarti existing in fact; not imagine or
supposed,[9] yang dalam bahasa
Indonesia dapat diartikan yang ada secara fakta, tidak dibayangkan atau
diperkirakan. Adapun kata fakta dalam bahasa Indonesia berarti hal
(keadaan, peristiwa) yang merupakan kenyataan; sesuatu yg benar-benar ada atau
terjadi.[10] Realisme juga berasal
dari kata Latin realis yang berarti nyata. Dalam bidang metafisika,
realisme berarti konsep-konsep umum yang disusun oleh budi manusia yang sungguh
juga terdapat dalam kenyataan, lepas dari pikiran manusia.[11]
Aliran
Realisme adalah aliran filsafat yang memandang bahwa realitas sebagai dualitas.
Aliran realisme memandang dunia ini mempunyai hakikat realitas terdiri dari
dunia fisik dan dunia rohani. Hal ini berbeda dengan filsafat aliran idealisme
yang bersifat monistis yang memandang hakikat dunia pada dunia spiritual semata.
Hal ini berbeda dari aliran materialisme yang memandang hakikat kenyataan
adalah kenyatan yang bersifat fisik semata. Realisme membagi realitas menjadi
dua bagian yaitu subjek yang menyadari dan mengetahui di satu pihak dan yang
kedua adanya realita di luar manusia yang dapat dijadikan objek pengetahuan
manusia.[12] Aliran ini juga berpandangan
realistis terhadap alam dan berpendirian bahwa pengetahuan manusia itu adalah
gambaran yang baik dan tepat dari kebenaran.
Menurut
aliran realisme, pengetahuan adalah gambaran atau kopi yang sebenarnya dari apa
yang ada dalam alam nyata (dari fakta atau hakikat).[13]
Aliran ini berpandangan bahwa apa yang diketahui oleh manusia yang terdapat
dalam akalnya adalah pada hakikatnya merupakan penggambaran atau kopian dari
apa yang terdapat diluar akalnya. Hal ini tidak ubahnya seperti sebuah gambar
hasil lensa kamera yang merupakan representasi dari gambar aslinya. Dengan
demikian, realisme berpendapat bahwa pengetahuan adalah benar dan tepat bila
sesuai dengan kenyataan yang ada. Untuk itu, sebuah teori pengetahuan mengakui
dunia benda dengan realitas obyektif dapat kita rasakan saat indera kita
berinteraksi dengan mereka.
Hal ini bertentangan dengan
pandangan yang menyatakan bahwa kita dapat memiliki pengetahuan tentang dunia
"nyata" seperti dunia, hanya karena dianggap atau muncul kepada kami.
Dalam realis, harus memberikan penjelasan meyakinkan kesalahan, sedangkan lawan
harus menjelaskan kebenaran. Yang pertama mungkin terbukti lebih mudah daripada
yang kedua.[14]
Dalam persepsi, kita langsung sadar akan objek-objek lain. Objek ini bersifat
umum dalam arti bahwa objek yang sama dapat dipersepsi oleh pengamat yang
jumlahnya tak terbatas. Objek-objek ini bersifat permanen yang selalu sama baik
dipersepsi ataupun tidak.[15]
Maka dalam eksistensi mereka sendiri, objek-objek itu memiliki
kualitas-kualitas yang sama seperti yang mereka sajikan pada persepsi. Maka
tindakan persepsi saya, anda, dan semua orang tidak akan mengubah objek itu
sedikitpun. Keluasan, gerak, daya tahan, besaran, warna, suara, rasa,
kehangatan, dan sebagainya yang saya persepsi selalu melekat pada objek itu,
bahkan kalaupun objek itu tidak dipersepsi oleh saya, anda, dan semua orang
yang mengamatinya.
Realisme
juga beranggapan bahwa objek-objek pengetahuan yang diketahui adalah adalah
nyata dalam dirinya sendiri. Objek-objek tersebut tidak bergantung adanya pada
pikiran. Pikiran dan dunia luar saling berinteraksi, akan tetapi interaksi ini
tidak mempengaruhi sifat dasar dunia. Dunia tetap ada sebelum pikiran
menyadarinya dan akan tetap ada setelah pikiran berhenti menyadarinya.[16]
Menurut
Poedjawijatna,[17] realitas yang objektif
dapat memberi dasar bagi penyelidikan dunia diluar kita dan kesadaran kita.
Adapun bukti-bukti adanya realitas yang objektif tersebut, adalah; 1) apa-apa
yang terdapat pada pengalaman dalam dan luar itu memberikan sebab yang harus
berupa realitas (bukti causal), 2). Pengalaman yang tidak kita kehendaki
sendiri (jadi bukan fantasi) tak mungkin, jika tak ada hal-hal diluar kita
(bukti subtract), dan 3) adanya hal-hal sebelum ada pengalaman dan dan terus
adanya sesudah pengalaman itu mengharuskan adanya hal-hal itu tergantung dari
pengalaman (bukti continuitas).
Para
realis mengembangkan teori ilmu diberangkatkan dari masalah apakah yang
disebut: real, exist dan true. Suatu teori dianggap benar bila memang
riil, dan secara subtantif ada, dan memang benar, bukan menyajikan fiksi.
Subtansi itu sendiri tidak selalu tampil subtantif seperti besi, manusia dan
pohon pisang, melainkan mungkin saja tampil sebagai jenis logam, sebagai satuan
masyarakat dan sebagai sifat basah. Bagi
para realis, sesuatu teori itu dipandang benar bila memenuhi tiga kriteria,
yaitu: a. memenuhi harapan, artinya
cocok dengan prediksinya, atau cocok dengan eksplanasinya, b. dapat diamati dan
efektif, dan c. subtantif.[18]
Sedangan konsep filsafat menurut aliran realisme adalah:
1.
Metafisika-realisme, kenyataan yang sebenarnya hanyalah kenyataan fisik (materialisme);
kenyataan material dan immaterial (dualisme), dan
kenyataan yang terbentuk dari berbagai kenyataan (pluralisme).
2.
Humanologi-realisme, hakekat manusia terletak pada apa yang dapat dikerjakan. Jiwa
merupakan sebuah organisme kompleks yang mempunyai kemampuan berpikir;
3.
Epistemologi-realisme, kenyataan hadir dengan sendirinya tidak tergantung pada
pengetahuan dan gagasan manusia, dan kenyataan dapat diketahui oleh pikiran.
Pengetahuan dapat diperoleh melalui penginderaan. Kebenaran pengetahuan dapat
dibuktikan dengan memeriksa kesesuaiannya dengan fakta;
4.
Aksiologi-realisme, tingkah laku manusia diatur oleh hukum-hukum alam yang diperoleh melalui ilmu, dan pada
taraf yang lebih rendah diatur oleh kebiasaan-kebiasaan atau adat-istiadat yang
telah teruji dalam kehidupan.[19]
Dalam kaitannya dengan konteks keilmuan, aliran realisme terbagi
menjadi dua yaitu realisme ilmiah dan anti-realisme ilmiah. Realisme ilmiah
adalah suatu paham yang ada dalam dunia ilmu pengetahuan. Paham ini menyatakan
bahwa objek-objek dalam pengetahuan ilmiah itu benar-benar ada dan terpisah
dari ilmuan.[20]
Dalam sebuah pengetahuan ilmiah, sering kita dapati suatu istilah-istilah
tertentu yang menunjuk pada objek dalam suatu ilmu pengetahuan ilmiah. Objek
pengetahuan alam atau pengetahuan sosial. Realisme ilmiah berpendapat bahwa
apa-apa yang disebutkan oleh pengetahuan ilmiah itu sebenarnya ada di alam
nyata, terpisah dan independen dari peneliti. Objek-objek dan relasi-relasi
yang digambarkan oleh ilmu pengetahuan itu ada dan nyata dalam alam nyata.
Pendapat ini berarti bahwa manusia dengan ilmu pengetahuannya mampu mengakses
alam nyata. Segala yang dikatakan para ilmuan merujuk pada suatu keberadaan di
alam nyata, tentu relatif tergantung pada perkembangan ilmu pada masa itu.
Pandangan ini ditentang oleh mereka yang menganut paham
anti-realisme. Anti-realisme berpendapat bahwa objek-objek pengetahuan ilmiah
eksis sebagaimana di alam nyata. Objek-objek dalam ilmu pengetahuan dinilai
dari kebergunaan. Maka dari itu, mereka berpendapat bahwa objek-objek ilmu
pengetahuan lebih berdasar pada bisa dipercaya daripada kebenaran. Mereka lebih
memfokuskan diri pada sisi pragmatisme dari objek-objek itu. Di sisi lain ada
yang berpendapat bahwa objek-objek ilmu pengetahuan merupakan hasil konsensus,
ini karena fakta-fakta itu diciptakan oleh para ilmuan. Kadang seseorang bisa
mempercayai bidang-bidang ilmu tertentu realis sedang bidang-bidang lain
tidak realis. Sebagai contohnya seseorang bisa mempercayai bagian ilmu
alam seperti : Fisika, kimia dan biologi sebagai realis, sedangkan dia bisa
berpendapat bidang ilmu seperti psikologi, ekonomi, psikologi sebagai tidak
realis.[21]
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa para realis pada kasus
tertentu mengakui bahwa seseorang itu salah lihat pada benda-benda atau dia
melihat dengan terpengaruh oleh berbagai keadaan disekelilingnya, namun mereka
paham ada benda yang dianggap mempunyai wujudnya sendiri, ada benda yang tetap
meski tidak diamati.
III.
Kesimpulan
Unsur-unsur dasar dalam pembahasan filsafat adalah
tentang segala yang ada yang dikaji secara radikal, rasional, sistematis,
bebas, kritis, dan universal. semakin mendalam mempelajari dan membaca hal-hal
yang menyangkut filsafat, maka akan melahirkan pengertian yang lebih
konprehensif tentang filsafat itu. Setelah berfilsafat sendiri, maka seseorang
akan menjadi semakin maklum akan makna filsafat, dan makin dalam ia berfilsafat
maka semakin dalam pula pemahaman tentang hakikat filsafat. Perbedaaan sudut
pandang dalam mendalami filsafat menjadi dasar timbulnya berbagai aliran
filsafat, salah satunya adalah realisme.
Aliran realisme memandang dunia ini mempunyai hakikat
realitas yang terdiri dari dunia fisik dan dunia rohani. Realisme juga beranggapan
bahwa objek-objek pengetahuan yang diketahui adalah adalah nyata dalam dirinya
sendiri. Objek-objek tersebut tidak bergantung adanya pada pikiran, maka
persepsi seseorang itu tidak akan mengubah eksistensi sesuatu. Oleh karena itu,
pengetahuan adalah benar dan tepat bila sesuai dengan kenyataan yang ada, dapat
memberikan
penjelasan meyakinkan kesalahan dan harus menjelaskan kebenaran.
DAFTAR
PUSTAKA
Bakhtiar, Amsal. Filsafat Agama: Wisata Pemikiran dan
Kepercayaan Manusia. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2007.
Echols, Jhon. M. and Hassan Shadily. An English – Indonesian
Dictionary. New York and London: Cornell University Press, 1996.
Fendy, Ridwan. “Realisme Ilmiah dan Anti-Realisme Ilmiah.” (May 5th, 2011,) http:// www.filsafatilmu.com/artikel/pengertian/realisme-ilmiah-dan-anti-realisme-ilmiah (Diakses 20 juni 2012)
Gallagher, Kenneth T. The Philosophy of Knowledge
(Epistemologi Filsafat Pengetahuan). Terjemahan P. Hardono Hadi.
Yogyakarta: Kanisius, 1994.
Hartoko, Dick. Kamus Populer Filsafat. Jakarta: PT.
RajaGrafindo Persada, 2002.
Hornby, AS, AP Cowie, and AC Gimson. Oxford Advanced
Learner’s Dictionary Of Current English. Oxford: Oxford University Press,
1987.
Ihsan, H.A. Fuad. Filsafat Ilmu. Jakarta: PT. Rineka
Cipta, 2010.
Muhadjir, Noeng. Filsafat Ilmu: Telaah Sistematis Fungsional
Komparatif. Yogyakarta: Rake Sarasin, 1998.
Poedjawijatna. Pembimbing Ke Arah Alam Filsafat. Jakarta:
PT. Rineka Cipta, 1994.
Progresiff, Aam. “Pendidikan
Menurut Aliran Realisme.” (7 februari 2011.) ”http://id.shvoong.com/social-sciences/2114004-pendidikan-menurut-aliran-realisme/ (Diakses 21 juni 2012).
Randa, “Filsafat Pendidikan Realisme.” (5 April 2012), http://randa26.
wordpress.com/2012/04/05/filsafat-pendidikan-realisme/ (Diakses 21 Juni 2012).
Subati, Bogi. “Realisme.” 1 januari 2001), http://id.shvoong.com/social-sciences/sociology/2094823-pengertian-realisme-idealisme-dan-utopianisme/ (Diakses, 21 juni 2012).
Suryana, Cahya. “Pendidikan Menurut Aliran Filsafat Idealisme dan Realisme: Implikasinya Dalam Pendidikan Luar Sekolah.” http:// csuryana.wordpress.com/2009/04/23/pendidikan-menurut-aliran-filsafat-idealisme-dan-realisme-implikasinya-dalam-pendidikan-luar-sekolah-pls/ (Diakses 20 juni 2012).
Tim Redaksi Bahasa Indonesia. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta:
Pusat Bahasa, 2008.
[1]
Tim Redaksi Bahasa Indonesia, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta:
Pusat Bahasa, 2008), 410.
[2]
H.A. Fuad Ihsan, Filsafat Ilmu (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2010), 1.
[3]
Amsal Bakhtiar, Filsafat Agama: Wisata Pemikiran dan Kepercayaan Manusia (Jakarta:
PT. RajaGrafindo Persada, 2007), 6.
[4] Ibid,
7.
[5]
Ihsan, Filsafat Ilmu, 1.
[6]
Amsal Bakhtiar, Filsafat Agama, 7-9.
[7]
Poedjawijatna, Pembimbing Ke Arah Alam Filsafat (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1994), 22.
[8]
Jhon. M. Echols, and Hassan Shadily. An English – Indonesian Dictionary. New
York and London: Cornell University Press, 1996.
[9]
AS Hornby, AP Cowie, and AC Gimson. Oxford Advanced Learner’s Dictionary Of
Current English (Oxford: Oxford University Press, 1987), 700.
[10]
Tim Redaksi, Kamus Besar, 468.
[11]
Dick Hartoko, Kamus Populer Filsafat (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada,
2002), 81.
[12] Aam Progressif, “Pendidikan Menurut Aliran Realisme,”
(7 februari 2011,) ”http://id.shvoong.com/social-sciences/2114004-pendidikan-menurut-aliran-realisme/ (Diakses 21 juni 2012).
[13]
Amsal Bakhtiar, Filsafat Agama, 37.
[14] Bogi Subati, “Realisme,” (1 januari 2001), http://id.shvoong.com/social-sciences/sociology/2094823-pengertian-realisme-idealisme-dan-utopianisme/ (Diakses, 21 juni 2012).
[15]
Kenneth T. Gallagher, The Philosophy of Knowledge (Epistemologi Filsafat
Pengetahuan), (Yogyakarta: Kanisius, 1994), 79.
[16] [16]
H.A. Fuad, Filsafat Ilmu, 90.
[17]
Poedjawijatna, Pembimbing, 134.
[18]
Noeng Muhadjir, Filsafat Ilmu: Telaah Sistematis Fungsional Komparatif (Yogyakarta:
Rake Sarasin, 1998), 48.
[19]
Cahya Suryana, “Pendidikan Menurut Aliran Filsafat Idealisme dan Realisme:
implikasinya Dalam Pendidikan Luar Sekolah,“ http://csuryana.wordpress.com /2009/04/23/
pendidikan-menurut-aliran-filsafat-idealisme-dan-realisme-implikasinya-dalam-pendidikan-luar-sekolah-pls/
(Diakses 20 juni 2012).
[20] Ridwan Fendy, “Realisme Ilmiah dan Anti-Realisme Ilmiah,” (May 5th, 2011,) http:// www.filsafatilmu.com/artikel/pengertian/realisme-ilmiah-dan-anti-realisme-ilmiah (Diakses 20 juni 2012)
[21]
Poedjawijatna, Pembimbing, 136.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar